Gie dan Semeru

Batu-batuan karang muncul di atas kepala, seperti mengintp dari ketinggian. Juga seperti mengundang dan meneguhkan tekad bagi siapa saja yang ada di bawahnya. Ayo sedikit lagi puncak menyapamu! Langkah kaki masih terasa berat menginjak pasir yang lunak. Sekali injak, permukaan pasir melorot ke bawah seperti tangan-tangan kekasih yang tak rela ditinggalkan. Tapi perlahan demi perlahan, tubuh tertarik ke atas, menggapai deretan karang yang seperti memagari jalan setapak berpasir hingga sampai di puncak.

Di dataran itu, puncak tertinggi jawa, tiba-tiba kesenyapan menyeruak. Celoteh para pendaki tiba-tiba senyap. Langit kosong, dihisap kabut di kejauhan. Dataran itu seperti lukisan kanvas tanpa coretan. Hanya pasir dan batu-batuan kecil bekas lava yang terlontar dari kawah Jonggring Saloka di kejauhan, berteman bisu. Ketenangan dengan cepat merenggut, menyisakan keheningan dan takjub mencekam. Tanah itu, kerikil dan batu itu, lebih mirip permukaan Mars yang kosong. Mungkin seperti inilah perasaan manusia saat pertama kali menginjakkan kaki di bulan.

Ada bendera di sana, menandakan puncak semeru. Bendera itu tergolek menunduk takluk pada keheningan alam. Dan tak jauh dari sana, sebuah lempeng logam terpaku nyaman. Bautnya mulai berkarat dimakan cuaca dingin menggigit, tapi huruf-hurufnya masih tampil tegas. Ini papan kenangan untuk Soe Hok Gie dan Idhan Lubis yang dibuat oleh Indonesia Green Ranger. Ya, pejuang keadilan itu memang pernah terbaring di gunung ini. Muak dengan pemerintah yang kacau balau, kemunafikan rekan-rekan dan pengkhianatan kekuatan yang pernah dibelanya mendarah daging, Soe Hok Gie menemukan ketenangan di sini.

"Ke sanalah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi

Kembali ke Pangkuan bintang-bintang…"

Previous
Next Post »

1 comments:

Click here for comments
Rumah Kue
admin
2:32 PM ×

Tulisan yang menarik.
Aku juga pernah ke sana lho mas....

Congrats bro Rumah Kue you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Post a Comment
Thanks for your comment