Dongeng 1001 Malam, Cerita Awalnya Tak Sampai 1001 Buah

Mungkin tak ada yang tak kenal dengan dongeng 1001 malam. Ali Baba dan 40 penyamun, Aladdin dan Lampu Wasiat, Sinbad si Pelaut, Hakim yang bijaksana, Kisah 3 buah apel, dan kisah-kisah ajaib lainnya menemani masa kanak-kanak kita dengan fantasi dan moral cerita yang menawan. Sayangnya tak banyak yang tahu bahwa dongeng awalnya agak berbeda dengan yang kita kenal saat ini.

Sumberhttp://oldchildrensbooks.tumblr.com/post/123666429783/the-story-of-prince-ahmed-and-the-fairy-perie

Kisahnya diawali oleh Scheherazade, Putri perdana menteri Persia yang dipersunting oleh Raja Shahryar. Sialnya bukannya menemukan kebahagiaan, keselamatan terancam karena sang raja punya tabiat mematikan, menghukum mati istrinya setelah malam pertama pernikahan sebagai balas dendam karena pernah dikhianati oleh istri pertamanya. Sudah puluhan wanita yang menjadi korban kebiadaban sang raja.  Untunglah Scheherazade bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas. Untuk mengulur waktu agar sang raja tak membunuhnya, perempuan cerdik ini selalu mengisahkan kisah menarik setiap malam. Kisahnya selalu bersambung setiap malam hingga 3 tahun atau 1001 malam. Sang raja akhirnya begitu tertarik dengan ceritanya hingga mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Kumpulan cerita Scheherazade inilah yang kelak dikenal sebagai Kisah 1001 Malam.
Menilik nama tokohnya, mungkin dongeng ini berasal dari Persia atau India. Asal muasal ceritanya sendiri dapat ditelusuri kembali dari Arab, Persia, Mesopotamia, Mediterania, Mesir hingga India. Beberapa cerita binatang dalam 1001 malam dipengaruhi oleh Kisah Pancatantra dan Jataka dari India. Cerita-cerita dalam dongeng ini bertema cinta, puisi, kisah berlatar belakang sejarah, fantasi dan sihir. Ironisnya di Timur Tengah, dongeng itu masih kalah tenar dibandingkan puisi. Kalau saja tak ada yang memperkenalkannya ke dunia luar, mungkin dongeng-dongeng itu tetap tinggal sebagai dongeng para saudagar dan pengelana padang pasir.

1001 malam a la Perancis
Antoine Galland. Sumber: http://images.fineartamerica.com

Pada tahun Antoine Galland, seorang sarjana Perancis, menterjemahkan The Tale of Sindbad the Sailor  di Istambul selama tahun 1690-an dan 1701 ke  dalam Bahasa Perancis.  Segera setelah menyelesaikan karyanya, Galland berkenalan dengan sejarawan asal Suriah yang memperkenalkannya dengan naskah Arab,  Alf Laylah wa Laylah.  Kolaborasi itu diterbitkan dalam 12 volume seri buku.  Dalam Bahasa Perancis, serinya dikenal sebagai Les mille et une nuits. Kedua belas volumenya terbit antara tahun 1704 hingga 1717. Inilah terjemahan pertama 1001 malam di Eropa.
Karya sastra ini sekaligus membuka mata pembaca Eropa pada sastra Arab yang cemerlang. Sebelumnya, dunia sastra Arab sama sekali tak dikenal di Eropa. Ketertarikan Galland pada sastra Arab dimulai ketika ia mempelajari Sastra Latin, Yunani, dan Arab di Paris. Pada tahun 1670, Galland ditugaskan di Kedubes Perancis di Istambul, Turki. Pengalaman itu membukakan jalan bagi petualangan penterjemahan karya sastra Arab. Cerita-ceritanya kelak menginspirasi banyak penulis Barat seperti  Voltaire, Samuel Taylor Coleridge, Edgar Allan Poe, Charlotte Bronte, Jorge Luis Borges, Salman Rushdie dan AS Byatt.
                 
Aladin dari Cina
Meskipun dikenal sebagai 1001 malam, awalnya jumlah ceritanya tak lebih dari 200 cerita. Galland menambahkan cerita kisah Sinbad yang sebelumnya diterjemahkannya. Ia juga diam-diam memasukkan cerita yang lain ke dalam terjemahannya. Aladin yang secara salah kaprah kita anggap sebagai cerita asli 1001 malam, belakangan diketahui cerita tambahan. Tokoh ini pun bukan berasal dari Irak seperti yang selama ini kita kenal. Tokohnya memang muslim dan bernama mirip Arab, tapi latar belakang aslinya sebenarnya adalah Cina. Versi ini jauh berbeda dengan versi film Disney yang kadung menjadi mendunia.  Bahkan Puteri Jasmine yang kita kenal, sebenarnya nama aslinya adalah Badroulbadour. Artinya  bulan purnama.
Mungkin kisah Aladin berlatar belakang komunitas muslim di Cina. Hal ini tak mengejutkan karena cerita 1001 malam lainnya dulunya memang dituturkan dari mulut ke mulut oleh para pedagang di sepanjang jalur sutera. Para penuturnya mungkin mengumpulkan ceritanya atau saling bertukar cerita dengan penutur lainnya di sepanjang perjalanan dagangnya dari Persia, Mesir, India hingga ke Cina. Mungkin juga cerita aslinya diubah latar belakangnya sesuai dengan asal muasal penuturnya. Banyak yang percaya kisah Aladin bersetting Turkestan (kini masuk wilayah Provinsi Xinjiang, Cina) yang memang dihuni oleh mayoritas muslim.

Aladdin dan Lampu Wasiat. Sumber: Wikipedia

Selain Aladin dan Sinbad, Galland juga menambahkan cerita tenar lainnya yang keburu kita yakini sebagai cerita 1001 malam tulen. Kisah Ali Baba dan 40 penyamun sebenarnya cerita yang ditambahkan ke cerita 1001 malam oleh Galland. Sialnya justru versi Perancis inilah yang kita kenal sebagai dongeng 1001 malam yang asli. Galland mengaku pada tahun 1709 ia berkenalan dengan Hanna Diab, seorang Pendeta Kristen Maronit dari Allepo, Damaskus, Suriah. Dari Diab, Galland mendapatkan empat belas cerita baru. Sayangnya pengakuan Galland tak digubris sebagian ilmuwan yang lebih percaya Galland-lah yang sebenarnya yang mengarang cerita tambahan itu.
                Untunglah ada yang membelanya. John Payne dalam bukunya, Aladdin and the Enchanted Lamp and Other Stories (London 1901), percaya Galland mendapatkan cerita itu dari Diab. Di Bibliothèque Nationale di Paris juga ditemukan dua naskah Arab yang memuat cerita Alladin. Satu naskah ditulis oleh Dionysios Shawish atau Dom Denis Chavis, seorang pendeta dari Suriah. Lainnya merupakan Salinan yang dibuat oleh Mikhail Sabbagh yang aslinya ditulis di Baghdad pada tahun 1703. Naskah itu dibeli oleh Bibliothèque Nationale pada akhir abad ke Sembilan belas. Tapi peneliti lainnya seperti Muhsin Mahdi  dan Husain Haddawy menuduh kedua naskah tersebut sebetulnya adalah terjemahan tulisan Galland ke Bahasa Arab. Mana yang benar? Tak ada yang tahu.
Yang jelas, terjemahan Galland membuka jalan bagi penterjemahan karya sastra ini ke berbagai bahasa. Penterjemah 1001 malam yang paling terkenal mungkin Richard Francis Burton. Burton menerbitkan terjemahannya 200 tahun setelah Galland. Hanya saja, terjemahan Burton diterbitkan di kalangan terbatas karena materinya dinilai terlalu erotis. Sisi erotis ini bisa dipahami karena sebelumnya Burton sempat menterjemahkan buku erotis legendaris lainnya, Kama Sutra. Sayangnya di era Victoria, tak ada ruang bagi erotisme yang lebih dianggap sebagai ketidaksenonohan.  Akhirnya Burton pun mencetak bukunya secara terbatas dengan bantuan Kama Shastra Society. Yang menonjol adalah catatan kaki Burton yang menggambarkan pengetahuannya yang luas tentang budaya dan sastra Timur Tengah. Berbeda dengan Lane yang melembutkan bahasa dalam terjemahannya, Burton tak hanya menceritakan ulang 1001 malam apa adanya, melainkan juga memberikan pengantar tentang dunia Timur Tengah yang kaya. Reputasinya sebagai penjelajah Eropa yang mengunjungi Mekah dan Afrika memang tak diragukan lagi.
Tahun 1835 Muhammad Ali, pemimpin Mesir menerbitkan naskah versi Mesir. John Payne menerbitkan versinya pada tahun 1882 dan Andrew Lang pada tahun 1897. Dalam versi Inggris, judulnya menjadi Arabian Nights. Mungkin karena mereka mengadaptasinya dari naskah Arab, sama seperti yang dilakukan oleh Galland. Sialnya ternyata versi yang diperoleh Galland adalah satu dari sekian versi Arab yang ada.  Selain versi Arab, ada juga versi India dan Mesir. Semuanya dianggap sebagai naskah “asli”. Memang kecap selalu nomor satu.
Pada tahun 1300 hingga 1700-an cerita 1001 malam memang sudah dikenal luas di Timur Tengah termasuk di Kairo, tempat naskahnya ditulis ulang dan menjadi dasar dari versi 1001 malam selanjutnya. Karena berasal dari versi yang berbeda, maka cerita-cerita setiap penterjemah nampak agak berbeda. Tetapi yang jelas mereka sama sekali tak mempersoalkan kelakuan Galland yang dengan entengnya menambahkan cerita dari luar cerita aslinya ke dalam terjemahannya. Buktinya, mereka masih menyertakan cerita Ali Baba dan 40 penyamun dan Aladin ke dalam terjemahannya.

Tambah 1001 cerita
Jadi mana naskah yang asli? Sulit menentukannya. Naskah versi Persia sebelum era Arab dikenal sebagai Hazar Afsana yang berasal dari abad ke 8 hingga 9 Masehi. Mungkin naskah aslinya lebih tua lagi. Yang jelas, saat itu ceritanya berjumlah 200 buah, bukannya 1001. Sayangnya naskah ini lenyap tak berbekas. Pada abad ke 10 hingga 12 banyak unsur Arab yang ditambahkan pada cerita aslinya hingga kemudian menggantikan hamper seluruh cerita aslinya. Latar belakang Persia digantikan dengan latar belakang Arab, terutama Irak dengan Bagdad-nya. Maka munculah versi dongeng Bagdad dengan Sultan Harun Al-Rasyid (786-890), Perdana Menteri  Jafar dan Abu Nawas. Tokoh-tokoh nyata tersebut yang  ditambahkan untuk memperkuat latar belakang Irak saat cerita itu ditulis ulang, sebenarnya tak ada kaitannya sama sekali dengan 1001 malam. Yang jelas, dengan penambahan itu, ceritanya meningkat menjadi 300 buah. Saat itulah mungkin Alf Laylah wa Laylah ditulis di Suriah. Naskahnya ditemukan di Kairo pada tahun 1947.

Ketika 1001 malam semakin kesohor, para penutur berikutnya seperti memburu tugas suci, “menambahkan ceritanya hingga sesuai dengan judul aslinya, yaitu 1001 cerita. Tahun 1825 hingga 1843, Maxmillian Habicht menerbitkan 8 volume 1001 Malam dalam Bahasa Arab dan Jerman. Penulisnya, Murad Al-Najjar, menambahkan cerita-cerita yang lain hingga jumlahnya kini benar-benar menjadi 1001 buah. Ternyata cerita ini tidak hanya tentang cerita 1001 malam saja, tetapi dirajut dari 1001 sumber berbeda. Tak heran tak ada satupun negeri yang berhak mengklaim sebagai negeri asal muasal 1001 malam karena kisah ini sebenarnya dirajut dari berbagai tempat yang berbeda.
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment