Sukses Adalah...

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah perjalanan ke Surabaya, secara tak sengaja ketemu teman SMP. Dia cerita begini: Eh, hebat lho si A sekarang sudah sukses. Mobilnya 3. Rumahnya besar. Si B sekarang sukses. Sudah kerja di Shell. Gajinya gedhe. Si C sudah sukses. Sekarang jadi juragan. Saya ikut-ikutan senang pada kesuksesan teman-teman saya mengingat waktu di SMP kami kok kelihatannya nggak bakat jadi orang sukses. Cuma cekikikan, bikin lelucon dan bikin keisengan. Tetapi yang membuat saya heran adalah mengapa sukses selalu dihubungkan dengan duit. Mobil, rumah besar, gaji gedhe atau juragan selalu berhubungan dengan duit. Apakah sukses selalu berarti kaya? Romo Mangun dianggap sukses, tapi ia nggak kaya. Bunda Theresa apalagi, jauh dari kekayaan. Tapi tetap saja dianggap sebagai manusia sukses.
Kalau dipikir-pikir memang begitulah premis “success is money” itulah yang dianut oleh masyarakat kita. Sukses artinya kaya, punya rumah besar, kendaraan mahal dan jadi kebanggaan sekaligus penopang keluarga. Sukses juga berarti menjadi penting (menjadi pejabat, sekalipun pejabat tingkat kelurahan), punya koneksi sehingga bisa memasukkan adik, sepupu, ipar, aak, teteh, om, tante dan tetangga ke kantor (ingat, nepotisme tak pernah benar-benar dianggap sebagai perbuatan tercela) dan menjadi kasir keluarga besar. Itulah ukuran sukses di masyarakat. Menghasilkan karya besar, berperan dalam masyarakat, berkarakter, belum dianggap sukses (kalau nggak mau dibilang gagal) kalau nggak punya duit.
Mungkin saya sirik karena nggak punya rumah, mobil (apalagi yang mewah) dan segala atribut yang bisa membuat saya masuk golongan “sukses”. Tapi anehnya ada beberapa teman yang menganggap saya sukses. Yang ini bikin bingung juga karena ada orang yang menganggap pekerjaan saya unik dan menarik. Tapi sekali lagi, yang seperti begini, jumlahnya cuma sedikit. Yang lebih banyak adalah…ya yang menyamakan saya dengan pengangguran simatupang (siang malam tunggu panggilan kerja), pekerja musiman atau pengacara (pengangguran banyak acara).
Saya jadi memilih sering diam kalau berada di lingkungan keluarga besar karena nggak ada yang care dengan profesi saya. Gimana care kalau setiap ketemu, mereka selalu nanya begini: eh Mas, kenapa nggak nyoba ngelamar ke perusahaan anu? Sudah coba ke kantor anu? Ada lowongan di BUMN anu lho. Kenapa nggak coba memasukan surat lamaran. Seolah-olah saya ini pengangguran dan minta dikasihani (padahal wajah saya nggak melankolis amat..he..he..he).
Sungguh mengenaskan karena saya sendiri merasa merdeka, mandiri dan bangga dengan kreativitas saya. Di sebuah acara Writer Gathering, seorang teman penulis pernah bilang pada saya. Saya kagum lho sama sampenyan. Kok bisa sampenyan dengan bangga memperkenalkan diri sebagai seorang penulis. Padahal peserta yang lainnya selalu memperkenalkan diri sebagai dosen, pensiunan, mahasiswa, dan lain-lain..barulah penulis. Mungkin pendapat yang ini masuk golongan yang anomaly ya? Seperti anomali cuaca macam El Nino dan La Nina. Saya nggak tahu. Mungkin saya harus lebih banyak ngumpul dengan komunitas ini supaya semangat saya terpompa atau supaya saya merasa bahwa saya sudah benar-benar “sukses”?
Seorang teman illustrator pernah bercerita kepada saya. Ia sebenarnya bisa mengerjakan ilustrasi di rumahnya sendiri. Tapi ia memilih memboyong semua peralatannya ke rumah temannya yang jaraknya nggak sampai satu kilometer dari rumahnya. Alasannya, supaya orang tahu kalau ia bekerja. Bekerja artinya, berangkat di pagi hari dan pulang di sore hari. Masuk akal juga. Kalau di rumah terus, apalagi yang rumahnya nggak ada keterangan yang menerangkan pekerjaannya, tetap saja dianggap pengangguran. Orang nggak bakalan mau tahu bagaimana kita bisa membeli segala keperluan hidup. Bisa-bisa dianggap memelihara tuyul. Apalagi profesi penulis seperti saya, bukan profesi yang dianggap layak selevel dengan PNS, pekerja kantoran, pemborong, pengusaha, apalagi selebritis (yang terakhir ini lebih nggak jelas jenis profesinya. Yang penting terkenal, sudah masuk golongan ini). Anehnya penulis yang bukunya menjadi bestseller menjadi sangat dipuja. Mungkin karena dia sudah masuk golongan selebritis atau karena uangnya begitu berlimpah sehingga sudah bisa masuk kriteria “sukses”. Saya nggak tahu apakah orang menghormati karyanya atau uangnya? Buktinya banyak yang mengagumi dan mengenal Dewi “Dee” Lestari. Tapi banyak juga yang belum pernah baca Supernova. Nah lo!
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment