Ode Buat Bu Hien


Beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan pulang ke Malang dari Jakarta, seorang teman mengabarkan lewat sms, Bu Hien telah meninggal. Penyakitnya macam-macam, komplikasi, kata teman saya. Terbayang beberapa tahun yang lalu saat perjumpaan terakhir kali di rumah anaknya di Jl. Andalas, Malang. Saat itu Bu Hien masih terbaring lemah. Kata dokter, ada syaraf di leher yang terjepit. Mula-mula hanya terasa seperti pegal linu. Tapi sakit itu menjadi semakin parah hingga Bu Hien lumpuh. Saya hanya sempat menemaninya sebentar di pinggir tempat tidurnya. Tubuhnya kurus kering sangat berbeda dengan penampilan sebelumnya yang segar dan enerjik. Tapi sorot matanya masih bersemangat. Kata teman saya, Bu Hien masih sempat sembuh dari lumpuhnya. Tapi penyakit lainnya, seperti penyakit jantung dan diabetes (kakinya sempat diamputasi), telah mengakhiri perjalanan hidupnya yang keras.
Bu Hien adalah satu diantara dua keluarga APP (Akademi Penyuluh Pertanian), yang menolak relokasi dan memilih bertahan di dalam rumahnya di dlam kampus itu kendati pihak Deptan (baca: APP) dan sebuah investor dengan kekuatan kapitalisnya, melakukan tukar guling untuk menyulap bekas kampus itu menjadi perumahan mewah. Almarhum Bu Hien dan Pak Rachmad serta keluarganya, ditemani beberapa teman mahasiswa dan LSM melakukan perlawanan dan bertahan di dalam kampus. Selama bertahun-tahun perlawanan itu berlanjut. Tapi hanya Bu Hien dan keluarganya yang benar-benar merasakan teror yang terus-menerus dilancarkan untuk membuatnya tak betah dan meninggalkan kampus APP. Pemadaman listrik dan lemparan batu di atas genteng rumah sudah menjadi teror harian yang mesti diterima. Sayang setelah bertahun-tahun tak banyak yang bertahan. Teman-teman mahasiswa datang silih berganti. Hanya Bu Hien dan Pak Rachmad yang bertahan. Satu persatu aset APP dikuasai pengembang (dengan dukungan Pemda). Lahan di dekat kampus UNM sudah berganti wajah menjadi pusat perbelanjaan besar, Malang Town Square (bayangkan sebuah pusat perbelanjaan besar diantara lokasi kampus dan sekolah). Ironisnya banyak warga Malang yang bangga dengan pusat perbelanjaan baru ini.
Kini hanya APP Tanjung yang tersisa, tak terurus, tak terbangun karena dalam status quo. Impian membangun perumahan memang tak tahu kapan terwujud. Investor berganti-ganti tapi tak sanggup bertahan lama. APP lama pun tak peduli dan sudah nyaman dengan lokasi baru di luar kota yang diberikan investor.
Di atas bus itu, saya tertunduk malu. Terbayang wajah Bu Hien yang teduh, sabar sekaligus teguh dengan pendiriannya. Saya malu tak bisa melanjutkan perjuangannya. Saya malu tak bisa berbuat apa-apa saat beliau tergolek lemah. Saya malu tak kuasa menentramkan hatinya saat teror menyerang bertubi-tubi. Saya malu karena tak bisa sekuat dan setegar beliau. Saya malu tak sekonsisten beliau. Saya malu tak bisa berada di sisinya saat ajal menjemputnya.
Selamat jalan Bue Hien. Semoga semangatmu tetap membara di dada kita semua.
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment