Kaum Pengambil dan Peninggal

Dalam novelnya yang mencerahkan, Ishmael, Daniel Quinn membagi umat manusia menjadi dua kelompok: kaum peninggal dan pengambil. Kaum peninggal mewakili apa yang sekarang sering disebut sebagai kelompok masyarakat terasing, suku primitif, kaum nomaden yang selalu dianggap bodoh, ketinggalan zaman, primitif dan tak beradab. Kelompok-kelompok ini yang meliputi berbagai kelompok seperti Indian, aborigin, dayak, mormon, suku anak dalam, masai dan lain-lain, biasanya tinggal di daerah-daerah terpencil, jauh dari modernitas, terpencil, tetapi menghormati alam dan mempraktekkan kepemilikan komunal.
Di sisi lain adalah kelompok pengambil yang mewakili sebagian besar masyarakat dunia yang mengklaim dirinya unggul, berbudaya, beradab, berteknologi, dan modern. Ironisnya kelompok inilah yang mengkampanyekan pembangunan tanpa batas. Mengeruk sumber daya alam secara gila-gilaan dan memboroskan energi demi kesejahteraan. Alam tak lain adalah komoditas yang bisa dijual dan dimiliki semaunya. Mereka menganggap bukan bagian dari alam dan tak terikat padanya serta tak punya kewajiban memperlakukannya dengan adil. Seolah-olah mereka tak terikat dengan hukum alam dan berhak membuat hukumnya sendiri yang lepas dari hukum alam.
Dengan dalih sebagai khalifah di muka bumi yang dipilih oleh Tuhan sendiri, kelompok ini mengubah bentang alam sesuai dengan keinginannya, memusnahkan spesies binatang dan tumbuhan bahkan mengubah wajah dunia, mengotori udara, air dan tanah sekaligus memarjinalkan kelompok minoritas yang tak sepaham dengan paham pertumbuhan dan modernitas paling canggih yang dianutnya.
Dengan dalih sebagai kaum terpilih (dan yang paling sempurna), kaum pemngambil merasa paling berhak memonopoli alam, menentukan mana spesies yang harus dipertahankan dan mana yang pantas dimusnahkan. “Bahkan binatang pemangsa yang paling kuat pun tak membunuh mangsanya melebihi kebutuhannya. Binatang pemangsa tak pernah memusnahkan saingannya,” kata Ishmael kepada muridnya.
Menurut Quinn, kaum pengambil menulis sejarah ulang peradaban manusia yang tak mengakui peran kaum peninggal. Sejarah Mesir kuno, Babylonia, Yunani, Romawi, Kekaisaran Cina, Majapahit hingga Amerika dan Indonesia modern adalah sejarah kaum pengambil. Cuplikan-cuplikan sejarah kelompok petani dan pemburu yang sudah eksis selama ratusan ribu tahun, tak masuk dalam catatan sejarah seolah-olah manusia tak pernah melewati masa-masa itu.
Nampaknya sindiran Quinn dalam Ishmael menemukan momentumnya saat ini. Kapitalisasi pembangunan di semua lini, bukan hanya menghasilkan pusaran ekonomi yang menggurita tapi juga memunculkan gaya hidup konsumtif dan menuai bencana ekologis yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Kebakaran dan penggundulan hutan, pemiskinan masyarakat, penyakit menular, tumpahan minyak, semburan lumpur panas, kebocoran rekator nuklir, kelaparan, bencana alam dan pemanasan global menjadi puncak dari pengurasan sumber daya alam secara gila-gilaan.
Quinn menyindir kebobrokan peradaban modern yang menganggap dirinya semakin membumbung naik padahal sebenarnya sedang menukik turun menuju kehancuran. Ishmael memberi contoh gamblang pada muridnya dengan mengambil contoh ilmuwan pertama yang terbang menggunakan sayap buatan meniru sayap burung. Sang ilmuwan dengan sayap buatannya terjun dari atas tebing tinggi. Ia begitu girang saat merasakan tubuhnya melayang di udara. Ia sudah terbang bebas seperti burung. Di dasar jurang matanya menangkap reruntuhan puing-puing pesawat: Pesawat Aztec, Pesawat Romawi, Pesawat Nazi, Pesawat Mongolia, Pesawat Napoleon, dan pesawat-pesawat dari peradaban yang gilang gemilang yang telah lama punah. Ia sebenarnya tak sadar bahwa ia tak sedang melayang, melainkan sedang terjun ke dasar jurang. Begitulah gambaran peradaban modern yang menganggap dirinya sedang naik ke angkasa, tetapi sebenarnya sedang terjun bebas ke jurang kehancuran: kerusakan alam yang parah dan pemusnahan spesies. Kemajuan hanyalah kemajuan semu yang harus dibayar dengan biaya yang sangat mahal.
Bagaimana pun kesombongan modern harus disudahi. Sudah waktunya saling belajar. “Minggirlah sejenak. Jangan mendominasi,” kata Anthony Hopkins, sebagai pembela dan pelindung gorila dalam film Instinct. “Beri ruang kepada yang lain agar kita bisa saling belajar.” Mungkin kita terlalu angkuh untuk mendengar, melihat dan belajar dari pihak lain yang dianggap inferior. “Sadari sebelum semuanya terlambat. Karena kita hanya punya satu bumi,” tambah Al Gore dalam The Inconvenient Truth yang menggemparkan itu.
Ironisnya kita justru tak mau belajar. Kita terus percaya diri, menyudutkan dan mendesak kaum peninggal yang lebih dulu ada hingga punah tanpa sempat mempelajari kearifannya. Sedikit orang yang sadar betapa berharganya kearifan hidup selaras dan menghormati alam. Beberapa ahli farmasi modern menemukan obat-obatan kanker yang didapatkannya dari para Shaman (dukun) Indian di pedalaman Amazon. Para penghuni Kepulauan Andaman selamat dari amukan Tsunami yang meluluhlantakan sebagian Asia Tenggara (termasuk Aceh dan Kepulauan Nias di Indonesia) dengan pengetahuannya yang sederhana tentang perilaku ombak di pantai. Sayang seribu kali sayang tak banyak yang mau belajar dari mereka. Kita terlalu sombong untuk mengakui pengetahuan orang lain yang terlanjur dianggap lebih bodoh, tak berbudaya dan naïf.
Quinn mengolok-olok perilaku kita dengan tokoh Ishmael, sang maha guru yang tak lain hanyalah seekor gorila. Gorila yang mengajar manusia, seolah menggambarkan bagaimana kita toh harus belajar dari orang yang kita anggap inferior dan tak berguna, serta tak pernah didengar suaranya. Di akhir cerita, Ishmael sang guru yang menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyampaikan seluruh ilmunya kepada sang murid (yang manusia), meninggalkan catatan kecil:

DENGAN KEPERGIAN GORILA, AKANKAH ADA HARAPAN BAGI MANUSIA?


Kapan kita mau belajar berubah? Ataukah kita harus menunggu sampai pesawat sang ilmuwan menghujam ke dasar jurang?

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment