MULTIKULTUR DAN BHINEKA TUNGGAL IKA

Memperingati Sumpah Pemuda saat ini diiringi kegelisahan tentang peran pemuda yang semakin memudar, terutama dalam menyikapi pluralisme. Tulisan ini mencoba mengajak pembaca merenungkan pluralisme tersebut dalam kaitannya dengan peran pemuda di masa kini dan mendatang.

Bangsa Amerika dulu memimpikan sebuah budaya baru, budaya baru, American Culture. Campuran dari berbagai macam elemen budaya penyusunnya, asli maupun pendatang. Mereka membayangkan sebuah Melting Pot, periuk masak. Tapi usaha itu tak pernah berhasil. Budaya amerika adalah budaya yang beragam, multikultur. Di amerika masih dijumpai berbagai budaya, Spanyol, Yunani, Italia, Belanda, Irlandia, Indian, Afrika, Jepang, India, Cina dan variasi-variasinya yang hidup bersama.
Koloni kaum kulit putih di Australia memimpikan sebuah Inggris baru di benua yang baru. Bangsa aborijin─yang dianggap tak berbudaya─harus dikendalikan. Bangsa-bangsa asia dibatasi masuk. Tapi apa yang terjadi? Kini yang terbentuk adalah budaya Australia yang multietnis. Siapa nama kapten kesebelasan sepak bola Australia? Mark Viduka. Dan itu bukan nama Inggris, tapi nama Kroasia. Siapa atlet putri tersohor dari Australia? Cathy Freeman. Dan ia keturunan Aborijin─yang dulu hanya dianggap pantas berkeliaran di gurun pasir. Bukan kulit putih.
Dan tengoklah anggota skuat timnas Perancis dan Belanda. Zinedine Zidane, Claud Makalele, Lilian Thuram dan William Gallas mungkin tak seputih Jean Reno atau Gerad Dipardue. Khaled Boulahrouz jelas bukan nama model Robben, Van Persie dan Van Basten yang dianggap sangat kental Belandanya. Tetapi mereka tetaplah Perancis dan Belanda. Dan lihatlah bagaimana mereka berpadu dan memainkan sepak bola yang indah. Bukankah perbedaan itu indah?
Di negeri kita dulu kuat muncul isu kuat pribumi dan non-pribumi sehingga pemerintah mau repot-repot meluncurkan proyek pembauran. Tapi usaha itu tak berjalan mulus. Mengapa? Karena pembauran adalah sebuah usaha untuk mengadaptasikan sebuah budaya minoritas pada budaya yang lebih dominan, budaya pribumi. Tak ada kesejajaran karena satu pihak harus melebur ke pihak lain. Satu identitas dipaksa untuk melebur dengan identitas yang lain. Memang sepintas kelihatan yang non-pri berubah menjadi seperti pribumi. Tapi sebenarnya hanya kulitnya saja. Nama-nama Tionghoa diubah menjadi nama yang lebih pribumi. Tetapi apalah artinya proyek ini jika satu pihak harus melepaskan identitasnya agar bisa masuk ke pihak lainnya yang dianggap lebih dominan dan asli? Hasilnya adalah sebuah kegagalan.
Budaya awalnya adalah bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Itulah sebabnya mengapa budaya orang pantai dan pegunungan jauh berbeda. Demikian juga dengan budaya hutan masyarakat peramu di Kalimantan dan budaya masyarakat Jawa yang agraris. Budaya melahirkan tradisi, kebiasaan, cara pandang, bahasa, dan kesenian. Budaya melahirkan identitas. Ketika mobilitas manusia sangat terbatas, budaya menjadi indentitas yang kuat, mengental dan memiliki ikatan sangat kuat. Tentu saja budaya harus berkembang. Budaya satu dipengaruhi oleh budaya yang lainnya, sadar maupun tak disadari. Kebudayaan yang tak berkembang adalah kebudayaan yang mati. Budaya yang terisolir adalah budaya yang mati, kaku dan memfosil. Tak ada yang bisa berkembang sendirian. Orang Eropa tak akan mengenal bola basket jika mereka tak belajar dari orang-orang Indian. Kita tak akan mengenal angka nol jika tak belajar dari orang India dan Arab. Mungkin juga orang Mesir akan tetap menulis di atas papyrus, jika tak belajar seni pembuatan kertas dari orang Cina kuno.
Ketika mobilitas manusia menjadi tinggi, mulailah terjadi pertemuan budaya. Orang-orang dari latar belakang budaya yang sangat berbeda bertemu, bertempat tinggal sama dan bersosialisasi. Pertemuan melahirkan dua pengaruh: penerimaan dan penolakan. Sebuah sikap yang wajar selama masing-masing menganggap bahwa budayanyalah yang paling unggul. Ada kalanya perubahan itu demikian cepatnya sehingga tak semua orang mampu mengikutinya. Orang merasa terancam dengan perubahan, oleh masuknya budaya lain. Ini melahirkan rasa terancam dan terasing. Tak heran bila akhirnya orang mulai menutup diri, mengagungkan budaya sendiri di atas yang lain dan berharap menjadi benteng terakhir serbuan budaya asing yang dianggap lebih rendah dan tak sederajad. Munculah keyakinan budaya yang adiluhung, agung dan beradab. Budaya lain dianggap sampah yang meracuni jiwa. Stigma dan prasangka mulai ditempelkan di atas kepala pendatang. Orang lain selalu dipandang sebelah mata, dicurigai, diwaspadai dan dan diasingkan seperti penyakit menular. Orang mulai bicara tentang kelompok. Orang dinilai dari stereotype kelompoknya, bukan pada personalnya. Tak mengherankan jika muncul masalah antara dua orang yang kebetulan berbeda budayanya, akan segera berkembang menjadi pertikaian kelompok karena orang tak lagi bisa membedakan kelompok dan personal. Masalah satu anggota kelompok dianggap sebagai masalah bersama. Maka ramailah tawuran antar kampung, antar suku, antar kelompok beragama, antara aliran yang lucunya sering kali dipicu oleh masalah sepele yang sebenarnya adalah masalah personal belaka, bukan masalah kelompok. Munculah rasialisme sehingga pemerintah mau repot-repot meneriakkan bahaya SARA. Di dunia luar malahan, bahkan pergesekan budaya melahirkan topik menarik. Sampai-sampai muncul keyakinan kuat akan terjadinya Class of Civilization. Perbenturan budaya. Tetapi benarkah demikian? Apakah kita memerlukan kuali masak yang sama dengan khayalan orang Amerika? Apakah kita akan lari dari kenyataan? Jika orang Amerika, Australia, Selandia Baru dan Kanada gagal mewujudkan impiannya yang tak masuk akal untuk menginggriskan negaranya masing-masing, maka lebih baik orang Jawa berhenti berkhayal untuk menjawakan Indonesia.
Tak perlu ada budaya tunggal yang dominan. Tak perlu repot-repot mencari identitas baru yang muluk-muluk. Tak perlu susah-susah memperdebatkan seperti apa penampilan orang Indonesia itu? Apa pakaian nasionalnya? Kebaya atau sarung songket? Peci atau topi burung cenderawasih? Tak ada identitas tunggal. Indonesia adalah keragaman, sama dengan Malaysia, Singapura, Australia, Suriname, Argentina, India, Amerika Serikat, Fiji, Kanada, bahkan Perancis dan Belanda. Keragaman itulah identitas kita. Kunci dari semuanya adalah kerelaan untuk menerima perbedaan. Jadi ubahlah paradigma bahwa perbedaan itu ancaman. Bukankah agama mengatakan bahwa perbedaan itu rahmat? Tak perlu ada pembauran. Biarkan semua identitas, semua budaya, semua perbedaan itu berkembang dan hidup berdampingan dengan damai. Dan aneh bin ajaib, baru-baru ini saja kita menyadari betapa pentingnya tulisan yang digenggam oleh burung garuda selama 61 tahun: Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun tetap satu jua. Mengapa selama ini tak terpikirkan?
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment