Ada Gajah Di Kalimantan


Selama bertahun-tahun lamanya, orang percaya bahwa gajah bukan binatang asli Kalimantan. Konon gajah yang kini hidup liar di Negara Bagian Sabah, Malaysia, adalah keturunan gajah milik Sultan Sulu. British East India Trading Company (Kongsi perdagangan Inggris di Hindia Timur) menghadiahi gajah-gajah itu kepada Sultan Sulu pada tahun 1750. Sultan Sulu lalu melepaskannya ke hutan untuk diliarkan kembali. Kepercayaan itu dianut bertahun-tahun lamanya hingga tahun tahun 2003 saat WWF’s (World Wide Fund for Nature) Asian Rhino anda Elephant Action Plan Strategy dan peneliti dari Universitas Columbia, melakukan tes DNA Mitokondria. Sampel penelitian berasal dari kotoran gajah. Lendir yang menyelimuti kotoran yang baru dikeluarkan mengandung sel-sel usus epitelium yang digunakan untuk tes DNA. Sampel-sampel itu diambil dari Kinabatangan bawah, Hutan Lindung Kalabakan, Hutan Lindung Gunung Rara dan Hutan Lindung Ulu Segama. Sampel-sampel itu kemudian diteliti di Universitas Colombia dan dibandingkan dengan sampel dari gajah dari India, Bhutan, Bangladesh, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya dan Sumatera. Hasilnya, gajah-gajah itu tinggal di Kalimantan sejak 300.000 tahun yang lalu! “gajah kalimantan adalah sub-spesies tersendiri yang berbeda dengan sub-spesies gajah lainnya di Asia”, kata tengku Zainal Adlin, chairman WWF-Malaysia.

Keyakinan lama bahwa gajah Kalimantan adalah keturunan gajah piaraan memang beralasan. Buktinya, tak ada catatan tertulis yang menyebut-nyebut binatang-binatang raksasa itu sebelum abad ke-18. Fosil tertua gajah yang ditemukan di Kalimantan ditemukan di goa di Brunei. Itupun hanya sebuah gigi saja. Nama lokal untuk gajah juga tidak ada. Belum lagi penyebaran gajah-gajah ini yang hanya terbatas di Sabah, terutama di antara daerah Sungai Sugut di Timur Laut Sabah dan di Sungai Sembakung di Kalimantan Timur bagian Utara. Dengan segala keterbatasan informasi itu, pantas saja gajah kalimantan dianggap mantan gajah piaraan yang menjadi liar. Laporan masa lalu tentang adanya pemburu yang membunuh gajah liar dengan sebilah tombak di dekat Sungai Kinabatangan dan Semporna, tak mampu mengoyahkan keyakinan itu. Maklum, sudah tradisi!

Terpisah sejak 18.000 tahun yang lalu

Sebenarnya gajah kalimantan sudah dianggap sebagai sub-spesies tersendiri pada tahun 1935. Tetapi para peneliti kemudian mencabutnya kembali dan menganggapnya sebagai sejenis gajah Sumatera atau India. Perbedaan bentuk morfologinya dianggap tidak cukup meyakinkan untuk mengelompokkannya sebagai sub-spesies baru. Maklum, saat itu teknik analisis DNA belum lagi berkembang. Perbedaan sub-spesies hanya didasarkan pada pemeriksaan tubuhnya saja. Barulah dengan teknik analisis DNA mutakhir, para ilmuwan mengembalikan lagi status sub-spesies sang gajah kalimantan.

Penemuan terbaru tentang gajah kalimantan jelas mengejutkan karena bertentangan dengan kepercayaan lama yang selama ini diyakini kebenarannya. Tapi para peneliti juga menyodorkan penjelasan ilmiah yang tidak kalah meyakinkan. Masih menurut penelitian itu, gajah-gajah kalimantan menyeberang ke Pulau Kalimantan dari daratan Asia pada masa Pleistosen. Pada masa itu permukaan air laut masih rendah dan Kalimantan dan Asia daratan masih dihubungkan dengan daratan rendah. Gajah dapat leluasa keluyuran ke kalimantan. Tetapi jembatan daratan itu terputus saat es mencair. Permukaan air laut naik dan gajah-gajah yang terlanjur transmigrasi ke kalimantan tidak dapat lagi kembali ke tanah leluhurnya. Gajah-gajah itu terpisah dengan gajah asia lainnya sejak 18.000 tahun yang lalu. Gajah kalimantan pun ditakdirkan untuk menjadi sub-spesies tersendiri. Inilah sub-spesies gajah asia ke-empat yang dikenal setelah sub-spesies gajah Sumatera, India dan Srilanka. Gajah ini mendapat julukan baru….gajah kalimantan kerdil (Elephas maximus borneensis).

Namun sebenarnya bukan hanya DNA nya saja yang menunjukkan perbedaan mereka. Bentuk tubuh gajah kalimantan sejatinya juga berbeda dengan saudara-saudaranya di Asia. Gajah kalimantan tubuhnya paling mungil dibandingkan gajah asia lainnya. Besarnya hanya 30% lebih kecil dari gajah asia lainnya. Mukanya juga lebih kekanakan dan kepalanya membulat. Telinganya lebih lebar. Gadingnya lebih lurus. Ekornya juga lebih panjang. bahkan sampai nyaris menyentuh tanah saat berjalan. Gajah ini juga tak segalak saudara asia. Dahulu tak banyak orang yang memperhatikan perbedaan itu. Sekarang mulai banyak yang manggut-manggut kalau melihat gajah kalimantan. Oh gitu to?

Perbedaan-perbedaan ini sebenarnya diakibatkan oleh kondisi lingkungannya. Di Kalimantan tidak ada binatang buas yang memangsa gajah sehingga gajah tak perlu bertubuh besar untuk menakut-nakuti musuhnya. Bandingkan dengan nasib sepupu-sepupunya di Sumatera atau India yang anak-anaknya selalu terancam oleh Harimau. Atau kalau mau lebih jauh dengan sepupu-sepupu jauhnya di Afrika yang selalu terancam oleh Singa. Di Kalimantan, gajah itu menjadi lebih tenteram hidupnya. Macan dahan dan beruang madu tak bakalan berani coba-coba mendekati anak gajah sekali pun. Bisa-bisa tubuh mereka hancur berantakan dilabrak sang induk gajah yang mengamuk.

Yang menjadi misteri sekarang, kenapa gajah-gajah itu hanya keluyuran di sekitar sabah saja dan tidak ditemukan di wilayah Kalimantan yang lain? Mungkin gajah pernah tersebar luas tetapi kemudian nyaris punah diburu. Mungkin gajah tak bisa menyebar karena terikat dengan habitat yang punya kandungan mineral tinggi. Yang jelas, gajah-gajah kalimantan sudah terbiasa dengan pohon kelapa sawit. Binatang-binatang berbelalai itu doyan sekali dengan buah sawit. Nah, di Sabah memang banyak perkebunan kelapa sawit. Maklum 40% PAD Sabah memang dari kelapa sawit sehingga tak heran jika banyak kebun kelapa sawit dibuka. Ternyata kebun-kebun itu tidak hanya mengundang para pekerja, tetapi juga mengundang gajah-gajah liar yang pengin mencicipi kelezatan buah sawit. Tak heran jika para petani menganggap gajah itu sebagai hama pertanian. Banyak juga gajah-gajah liar yang dibunuh. Sebuah kepala gajah betina pernah ditemukan mengambang di sungai. Mungkin dibunuh oleh petani sawit. “Perkebunan kelapa sawit yang dibuat di tepi hutan seperti permen manis bagi anak-anak. Gajah-gajah itu tak akan tahan padanya”, ujar Jan Verteveuille, anggota tim peneliti gajah kalimantan.

Di mana-mana, gajah memang dimusuhi. Gajah memang tak bisa disalahkan karena sudah sejak lama menghuni daerah tersebut. Tetapi petani juga tak mau juga disalahkan. Mereka tak mau hasil jerih payahnya selama berbulan-bulan, dipanen oleh tamu tak diundang. Bagi mereka tak ada bedanya gajah ini dari Asia atau gajah asli kalimantan. Yang penting gajah itu tetap hama. Titik!

Naik derajad

Karena perburuan itu, gajah-gajah kalimantan mungkin jumlahnya tak lebih dari 1500 ekor. Namun Williams percaya jumlah sebenarnya kurang dari 1000 ekor. Artinya, gajah-gajah liar itu sudah terancam kepunahan. Nah di sinilah hasil penelitian berbicara. Kalau dahulu saat gajah-gajah ini dianggap gajah piaraan yang liar, tak ada yang khawatir dengan populasinya. Toh kalau habis, masih ada gajah lainnya dari Sumatera atau India. Tak ada bedanya kan? Sekarang ketika diketahui bahwa gajah-gajah itu asli pribumi kalimantan, persoalannya jadi lain. Gajah kalimantan berubah menjadi binatang unik. Derajadnya otomatis naik dari hanya binatang hama menjadi binatang langka yang wajib dilindungi. “penelitian genetis menunjukkan bahwa data yang kami peroleh bertentangan dengan keyakinan kita selama ini,” kata Lori Eggert, ahli genetika konservasi Smithsonian Institution di Washington, D.C. “Binatang yang semula dianggap hama ini, kini menjadi prioritas utama dalam pelestariannya,” lanjutnya. Syukurlah! Artinya binatang ini harus diperlakukan lebih istimewa dan sebaiknya tidak dikawinsilangkan dengan gajah asia lainnya untuk menjaga kemurniannya.

Sayangnya kehidupan gajah kalimantan tak banyak yang dketahui. Padahal untuk melindunginya, para ahli perlu mengetahui kehidupannya, apa makanannya, bagaimana kebiasaannya dan bagaimana perkembangbiakannya. Tanpa itu semuanya seperti meraba-raba di kegelapan. Tau ah gelap! Begitu kira-kira bunyinya. Untuk itulah para peneliti WWF dan Pemerintah Sabah melakukan proyek pemasangan radio pelacak. Alatnya seperti kotak yang dikalungkan pada leher gajah. Alat itu memancarkan sinyal 3 kali sehari ke satelit selama 18 bulan. Selepas itu, alat itu tak berfungsi karena batereinya habis. Tetapi para ahli akan menggantinya dan memasangkannya selama 5 tahun. Dengan alat itu, para ahli dapat mengetahui pergerakan gajah sekaligus kebiasaan-kebiasaan lainnya.

Pemasangan kalung elektronik itu telah dimulai di akhir bulan Juni tahun ini. “Alat ini seperti sebuah jendela untuk melongok kehidupan gajah kalimantan,” kata A. Christy Williams, koordinator program WWF. Williams memulai memasang alat-alat itu pada tiga ekor gajah, termasuk seekor gajah yang diberi nama Taliwas. Tiga ekor gajah lainnya dipasangi alat serupa pada akhir Bulan Juli.

Kini para ahli dan pemerintah Malaysia berusaha melindungi habitat gajah, terutama di Lembah Danum, sebuah area HPH. Di daerah Itu, gajah-gajah sudah terbiasa dengan keributan penebangan pohon. Bahkan gajah-gajah liar dapat menghindari pohon roboh yang baru saja ditebang. “Di Sabah, kita sampai pada kesimpulan bahwa jika kita punya perencanaan yang mantap kita dapat menunjukkan bagaimana konservasi menguntungkan binatang dan manusia,” ucap Williams. Itu berarti tak ada perluasan perkebunan kelapa sawit di sekitarnya. Nah lo!

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment