Spesies Binatang Baru Masih Terus Ditemukan





Gambar monyet mangabey pegunungan

Berbeda dengan asumsi bahwa seluruh dunia telah “selesai dieksplorasi”, ternyata penemuan spesies binatang baru, masih terus berlanjut. Dalam zaman teknologi satelit yang demikian canggih, di bagian-bagian dunia yang terisolasi, para ilmuwan masih saja menemukan binatang jenis baru baik “disengaja maupun tak sengaja”. Termasuk di dalamnya adalah penemuan 350 jenis spesies berbagai macam serangga, ikan, katak dan kadal di goa kapur di Kalimantan dan ikan-ikan di perairan laut dalam.

Jenis monyet baru ditemukan di Tanzania dan di kaki pegunungan Himalaya. Dua tim peneliti yang berbeda berhasil menemukan satu spesies monyet mangabey di Tanzania. Spesies yang dinamai “mangabey dataran tinggi” (Lophocebus kipunji) itu merupakan spesies terbaru yang ditemukan dalam 20 tahun terakhir di Afrika. Monyet itu berwarna coklat dengan panjang tubuh 90 sentimeter. Perutnya berwarna putih dan mempunyai rambut-rambut lebat di pipinya. Monyet mangabey ini hidup di ketinggian 2450 meter di atas permukaan laut. Rambutnya tumbuh tebal untuk melindunginya dari cuaca dingin. Jumlahnya kian menipis. Diperkirakan populasinya hanya tinggal 500 hingga 1000 ekor.

Monyet sejenis makaka ditemukan di Propinsi Arunachal Pradesh, India dan dinamakan monyet arunachal (Macaca munzala). Ekor monyet itu pendek dan tubuhnya berwarna coklat, membuat penampilannya seperti beruk. Tetapi rambutnya lebih tebal. Monyet ini adalah jenis makaka terbaru yang ditemukan. Jenis makaka terakhir yang ditemukan adalah monyet pagai yang ditemukan di Siberut, Kepulauan Mentawai pada tahun 1903. Binatang ini juga salah satu jenis primata yang tinggal di ketinggian antara 1600 hingga 3500 meter dari permukaan air laut. Penemuan ini mengejutkan karena dengan semakin tingginya populasi penduduk India, tidak banyak yang mengharapkan menemukan jenis monyet baru di habitat yang paling terisolasi sekali pun.

Belakangan jenis monyet dunia baru juga ditemukan di Madidi, Bolivia, Amerika Selatan oleh peneliti Rob Wallace. Monyet yang belum diberi nama itu bertubuh kecil seperti tamarin dan berwarna oranye. Mereka hidup berpasangan dan melindungi daerah teritori yang sempit. Setiap pagi pasangan monyet mungil itu meneriakkan suara keras untuk mengumumkan daerah kekuasannya. Pejantannya ikut memelihara anak-anaknya. Monyet itu dijuluki sebagai monyet madidi.

Masih banyak lagi daerah-daerah asing yang belum pernah dijelajahi manusia yang menyimpan kekayaan spesies binatang baru yang belum dikenal oleh ilmu pengetahuan. Dasar samudera yang dalam, puncak pegunungan atau hutan yang terisolir, menjadi gudang spesies-spesies binatang baru. Di negara kita sendiri, hutan-hutan lebat Kalimantan dan Irian terus saja menyumbang penemuan binatang baru. Temuan itu bukan hanya jenis-jenis binatang yang berukuran kecil seperti kelelawar, melainkan juga jenis-jenis binatang besar yang menyolok mata.

Penemuan sao la (Pseudoryx ngetihensis) di pegunungan Anam Cordillera, di daerah di sekitar perbatasan Vietnam, Myanmar dan Laos, pada tahun 1990-an, seolah membuka mata kita bahwa mungkin masih banyak binatang mamalia besar yang belum diketahui keberadaannya. Sao la seolah menjadi simbol penemuan kembali binatang mamalia besar. Sao la hampir sama besarnya dengan rusa. Tanduknya panjang dan melintir seperti Oryx. Binatang ini ditemukan di hutan-hutan pegunungan yang terisolir selama bertahun-tahun oleh perang saudara. Segera setelah penemuan sao la, para peneliti Vietnam kembali dibuat tercengang dengan penemuan dua jenis muncak raksasa, burung dan bahkan ikan jenis baru.

Ditemukan di laboratorium

Tidak semua spesies baru ditemukan di lapangan. Beberapa spesies bahkan ditemukan di meja laboratorium. Teknologi DNA telah memungkinkan para ahli menemukan spesies baru. Beberapa jenis binatang yang selama ini dianggap satu spesies, lewat serangkaian tes DNA, ternyata berbeda sangat jauh sehingga disimpulkan sebagai spesies yang berbeda. Gajah Afrika dulunya dianggap sebagai hanya satu spesies. Tetapi belakangan para ahli menyimpulkan ada dua spesies gajah afrika, yaitu gajah savana (Loxodonta africana) yang banyak kita kenal selama ini dan gajah hutan atau gajah pigmy. Gajah hutan hidup di hutan-hutan Kongo. Berbeda dengan gajah savana yang bertubuh besar dan mudah terlihat, gajah hutan bertubuh lebih kecil. Hampir seukuran gajah asia. Gadingnya juga tidak melengkung ke atas, melainkan lurus ke bawah. Gajah hutan hidup di hutan-hutan lebat dan hanya sesekali mengunjungi tempat terbuka di tengah hutan yang disebut “bai”. Gajah hutan menggunakan gadingnya yang panjang dan lurus untuk “mengubek-ubek” tanah saat mencari mineral di dalam tanah.

Dengan metode yang sama, para peneliti James Cook University dan Museum of Tropical Queensland Australia dan National Oceanic & Atmospheric Administration’s Southwest Fisheries Science Center, La Jola Amerika Serikat menemukan pesut jenis baru (Kompas, 6 Juli 2005). Pesut yang dinamakan snubfin dolphin (Orchaella heinsohni) ini masih sekerabat dengan pesut Mahakam.

Di madagaskar, para peneliti menemukan dua jenis lemur tikus. Penemuan itu sekaligus membuat jumlah spesies lemur yang diketahui bertambah dari 47 menjadi 49 jenis. Lemur hanya hidup di Pulau Madagaskar di lepas pantai Afrika Timur. Kedua jenis lemur itu ditemukan saat tim peneliti dari University of Göttingen di Jerman, membandingkan dua populasi lemur tikus raksasa baru di Madagaskar Barat dan Barat Laut. Awalnya, para peneliti menganggap keduanya satu spesies yang dikenal sebagai Mirza coquereli. Tetapi saat melakukan analisis geneitisnya, tim peneliti menganggap spesimen dari Barat Laut sebagai spesies berbeda dan menamainya Mirza zaza. Kemudian Para peneliti mengirimkan sample DNA lemur dari madagaskar Barat untuk dibandingkan dengan DNA jenis lemur lainnya di laboratorium. Mereka kembali dikejutkan karena sampel yang dikirimkan sangat berbeda dengan DNA jenis yang lain sehingga dianggap sebagai spesies lemur jenis baru. Para ilmuwan menamai lemur baru ini Microcebus lehilahytsara. Dalam bahasa Malagasi, lehilahytsara berarti orang baik atau “good man”. Nama itu sebagai penghormatan pada Steve Goodman, ahli primata dari Field Museum, Chicago yang mempelopori penelitian lemur.

Penemuan di Pasar Kampung

Bahkan pasar kecil di kampung dekat hutan pun bisa jadi ajang penemuan spesies baru. Para peneliti dari Wildlife Conservation Society berhasil mengidentifikasi spesies binatang pengerat baru saat “jalan-jalan” di pasar tradisional di Laos. Binatang-binatang pengerat seperti tikus dan landak memang lazim dijual di pasar-pasar itu seperti layaknya jualan ayam. Nah, di saat belanja itulah kedua mata para peneliti tertuju pada seonggok daging binatang yang aneh. Penduduk lokal menyebutnya kha-nyou. Mereka sering menjerat binatang itu dan menjual dagingnya ke pasar lokal. Binatang itu berekor panjang dan tebal dan berkaki pendek. Tampangnya lebih mirip landak tak berduri dibandingkan seekor tikus.

Belakangan para ilmuwan membawa jazat binatang itu ke laboratorium. Hasilnya adalah……jenis spesies mamalia baru yang belum pernah ditemukan. Bahkan ini penemuan famili mamalia baru. Para penemuanya menjulukinya sebagai “fosil hidup” karena diduga keturunan nenek moyang binatang-binatang pengerat dan anggota famili binatang yang muncul dari binatang-binatang pengerat jutaan tahun yang lalu. Binatang ini dianggap sebagai nenek moyang hystricognatha, yaitu sebuah kelompok binatang mengerat yang tersebar ke seluruh dunia dan mencakup binatang-binatang seperti landak, tikus mondok afrika, babi guinea dan chinchilla di Amerika Selatan. Binatang ini hidup di hutan dan pegunungan kapur di Laos. Spesies ini kini diberi nama latin, Laonastes aenigmamus. Binatang pengerat ini hanya beranak satu. Kemungkinan perkembangannya juga lambat sehingga kemungkinan juga mulai langka.

Berpacu Dengan Kepunahan

Penemuan spesies binatang baru akan menjadi “amunisi tambahan” bagi para conservanist untuk mengajak pemerintah melestarikan daerah tempat penemuan spesies tersebut sebagai daerah perlindungan. Penemuan mangabey jenis baru telah melahirkan ide pendirian Taman Nasional Pegunungan Rungwe. Para ilmuwan juga sedang berusaha memanfaatkan penemuan-penemuan itu sebagai isu besar untuk mendesak pemerintah untuk lebih serius melindungi habitatnya.

Penemuan-penemuan spesies baru tersebut menjadi bukti kuat bahwa masih banyak spesies binatang yang belum kita kenal. Banyak daerah terpencil yang belum pernah dijelajahi dan dipetakan. Robert May dalam artikel tahun 1988 membuat estimasi rata-rata jumlah spesies yang ditemukan per tahun adalah 3 spesies burung dan satu genus mamalia. Ia memperkirakan 10 spesies serangga baru ditemukan setiap tahun. Selama ini hanya 1,5 juta spesies yang sudah dikenal dan diberi nama. Diperkirakan di seluruh dunia ada sekitar 10 juta spesies.

Tetapi di sisi lain, tingkat kepunahan spesies binatang lebih cepat lagi. Diperkirakan 3 spesies punah per jam. Pertumbuhan populasi manusia dan penghancuran habitat binatang untuk pertambangan, pertanian, perkebunan kelapa sawit, pemukiman dan penebangan liar telah menyumbang kepunahan beragam jenis binatang liar. Sebagian mungkin belum pernah dikenal sebelumnya oleh ilmu pengetahuan. Sebagai gambaran kerusakan habitat, sejak tahun 1996, pembalakan hutan di Indonesia rata-rata telah merusak 2 juta hektar per tahun. Penemuan spesies binatang baru juga seperti pisau bermata dua. Di satu sisi menguntungkan bagi ilmu pengetahuan. Sementara di sisi lain justru mengundang cepatnya kepunahan binatang bersangkutan. Dalam perdagangan binatang liar juga berlaku hukum pasar. Jika permintaan banyak dan persediaan kurang, harganya akan membumbung. Semakin langka seekor binatang, harganya semakin tinggi. Tanpa dibarengi perlindungan habitat, spesies yang baru ditemukan akan menjadi incaran pemburu liar dan kolektor kelas kakap. Penemuan justru akan mempercepat kepunahannya. Jadi, kita harus berpacu dengan kepunahan. Atau semua yang kita temukan menjadi sia-sia belaka (Dari berbagai sumber).











Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment