Jangan
membayangkan lokasi eksotis semacam kompleks Angkor Wat yang terkenal itu.
Trowulan memang jauh berbeda. Jika kompleks Percandian Angkor Wat di Kamboja
tertelan rimba raya, kompleks kota raja Majapahit tertelan perkampungan padat
penduduk. Bukan lilitan akar dan sulur-sulur pohon raksasa yang membelit candi-candinya,
melainkan deretan rumah, ruko, pasar, kios, warnet, dan warung yang menutupi
reruntuhan Trowulan. Sulit membayangkan sebuah ibu kota megah dari sebuah
kerajaan yang pernah berjaya di Asia Tenggara pada abad ke-13 hingga 15 saat
mengunjunginya pertama kali. Sewaktu ditemukan oleh Thomas Stanford Raffles,
Gubernur Jenderal Inggris pada abad ke-19, kota yang hilang ini tertutup hutan
jati yang lebat. Kini Trowulan tak
ubahnya seperti kota-kota kecamatan lainnya di Jawa Timur yang padat, sibuk,
panas tetapi tetap ramah. Terletak di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, sekitar
62 kilometer dari Surabaya atau 93,3 kilometer dari Malang, status Trowulan jelas tak sehebat dulu lagi. Butuh
usaha ekstra untuk menemukan ibu kota yang hilang itu. Tak mudah menemukan
candi-candi yang dulu sempat tersebar di kompleks seluas 11 km × 9 km
kilometer persegi itu. Bahkan pengunjung pemula tak jarang tersesat di gang-gang
sempit. Keterangan-keterangan lokasi pun seringkali tak terlihat jelas tertutup
daun atau terselip di mulut gang. Belum lagi jika antar situs terpotong
perempatan jalan.
Salah
satu cara terbaik memulai “pencarian” situs trowulan adalah dengan mengunjungi
Museum Trowulan. Tetapi sebelum mencapai museum, pengunjung akan disuguhi
dengan panorama kolam segaran. Terletak di sebelah Timur museum, kolam segaran
diperuntukkan sebagai pengatur tata air di Majapahit. Maklumlah, Trowulan
terletak di tepian Sungai Brantas yang kerap meluap saat musim penghujan. Para
insinyur Majapahit mencoba menjinakkan luapan air dengan membangun beberapa
bendungan dan kolam-kolam buatan untuk membuang limpahan air agar tidak
menggenangi pemukiman. Nama Kolam Segaran berasal dari Bahasa Jawa
“segara” yang berarti 'laut'. Mungkin karena kolam itu merupakan miniatur laut.
Kolam ini memiliki panjang 375 meter, lebar 175 meter, tebal tepian 1,6 meter
dengan kedalaman 2,88 meter. Di beberapa bagian terdapat bagian yang menurun untuk memudahkan orang
turun ke kolam. Saat ditemukan oleh Henry
Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan
tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Dahulu tentulah kolam itu menempati
posisi sentral di ibukota Majapahit. Konon pada masa lalu setelah menjamu
tamu dengan makanan yang dihidangkan dalam perkakas dari emas, wadah-wadah itu
dibuang ke dalam kolam. Kini
ada jalan beraspal sempit di depannya yang dipenuhi warung-warung kecil dengan
hidangan ikan tawar garing yang renyah.
Kolam Segaran
Terbengkalai
selama bertahun-tahun seperti layaknya museum lainnya di negeri ini, kini
museum Trowulan bersolek dengan tampilan yang lebih informatif dan menarik.
Museum yang didirikan oleh Henri Maclaine Pont,
seorang arsitek sekaligus arkeolog yang menggali situs Trowulan ini tidak hanya memamerkan pernak-pernik
penemuan berbagai macam peninggalan Majapahit seperti Kala Makara, bubungan
atap, sumur dan bahkan bak mandi keramik, tetapi juga dengan menarik memamerkan
berbagai benda yang selama ini jarang terlihat seperti kelereng kuno, saluran
air, gerinda, batu bata segi enam dan
berbagai macam celengan. Di antara model celengan karikatural berwajah tembem yang
menggambarkan selera humor dan humanis para seniman Majapahit, terselip seraut
wajah yang dulu dipercaya kuat sebagai wajah Gajah Mada, Maha Patih Majapahit
yang terkenal itu. Entah bagaimana celengan gerabah lucu itu bisa menginspirasi
wajah tokoh majapahit yang paling tenar itu. Berbagai poster dan diorama juga
terlihat apik seperti rekonstruksi rumah Majapahit.
Koleksi Museum Trowulan
Kunjungan
ke museum semakin menarik karena di sebelah museum terdapat bangunan dua lantai
berotot besi dan beratap lebar. Pengunjung dapat naik ke bagian atas melalui tangga
besi dan menyusuri kanopi besi yang lega sambal menatap pemandangan menarik di
bawahnya. Inilah situs penggalian pemukiman kuno Majapahit. Sisa-sia batu bata
dibiarkan apa adanya seperti setengah terbuka dari tanah yang pernah
menimbunnya. Meskipun tinggal puing-puing, situs itu dengan jelas menunjukkan
petak-petak rumah yang tersusun rapi dengan jalan-jalan yang pastinya dulu
tertata asri. Kitab Negara Krtgama karya Prapanca menggambarkan deretan
rumah-rumah itu dengan jelas. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Informasi
yang mengesankan di Museum Trowulan bisa menjadi pengantar yang menarik sebelum
menyusuri situs-situs Trowulan lainnya semacam Candi Wringin Lawang, Candi
Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Brahu dan Makam Ratu Campa. Tetapi bukan
berarti membuat pencarian lebih mudah karena reruntuhan bangunan tersebar
diantara pemukiman padat. Pengunjung harus sering bertanya untuk menemukan
situs yang dicarinya. Apalagi bagi pengunjung pemula seperti saya yang hanya
berbekal semangat dan rasa ingin tahu yang besar. Untunglah penduduk lokal siap
membantu memberikan informasi. Cara paling mudah dan murah untuk “mencari”
Trowulan adalah dengan motor seperti yang saya lakukan bersama teman dari
Malang. Motor lebih kecil daripada mobil sehingga lebih lincah menyusuri
jalanan kecil dan gang-gang sempit di Trowulan.
Candi Jawi
Candi-candi
Bajang Ratu dan Wringin Lawang yang sejatinya adalah pintu-pintu masuk Kota
Raja Majapahit itu untungnya bukan berada di pemukiman padat, melainkan
tersembunyi di hamparan kebun tebu yang luas. Candi-candi yang dahulunya
dilengkapi dengan pintu-pintu besar dari besi berukir itu terlihat tetap kokoh
dan menakjubkan. Terutama jika kita mengunjunginya di pagi hari yang berkabut.
Kabut tipis yang menyelimuti candi memberikan kesan mistis seperti membawa kita
kembali ke masa-masa ketika kota agung itu riuh dengan kesibukan penduduknya. Tak
heran banyak yang memanfaatkan pintu gerbang Majapahit yang terbuat dari batu
bata itu sebagai lokasi pemotretan. Sejak tahun 1815 candi ini dikenal dengan nama Gapura Jatipasar. Nama Wringin Lawang
berasal dari dua pohon beringin yang mengapit bangunan ini. Tinggi bangunan 5,5
meter. Kini di sekitarnya
juga dihiasi taman-taman yang luas, tempat parkir dan pos jaga dan dilengkapi
dengan jalan setapak yang
tertata rapi dan bersih.
Sayang tak banyak informasi dan buklet yang menjelaskan tentang candi-candi
tersebut selain keterangan pada papan kayu.
Candi Bajang ratu
Candi Wringin Lawang
Untuk
mencapai Candi tikus, pengunjung harus melintasi jalanan kampung yang berliku-liku
diselingi pemukiman dan kebun tebu. Dari sisi jalan, candi itu terlihat jelas. Candi
Tikus yang konon memperoleh namanya dari banyaknya sarang tikus saat ditemukan pada
tahun 1914, merupakan pemandian berbentuk kolam
segi empat. Khas dengan
bangunan dari batu bata merah dan batu kali, candi ini sekaligus menegaskan
pergeseran arsitektur Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ada tangga yang mengantar
pengunjung ke kolam air. Bangunan Candi Tikus menyerupai kolam dengan beberapa
bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan
ukuran 29,5 x 28,25 meter. letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 meter dari
permukaan tanah sekitarnya. Di bagian
tengah kolam terdapat menara yang dikelilingi oleh 8 menara sejenis yang
berukuran lebih kecil melambangkan gunung. Di sekeliling dinding kaki bangunan
berjajar 17 pancuran berbentuk bunga teratai dan makara.
Candi Tikus
Candi
Brahu terletak di sisi jalan diantara hamparan sawah. Bentuknya seperti genta
raksasa dari batu bata. Brahu diduga berasal dari kata wanaru atau warahu.
Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut
ditemukan tak jauh dari Candi Brahu. Bangunan megah setinggi 20 meter ini dihiasi dengan taman
asri yang dipenuhi pepohonan rindang. Salah satunya adalah pohon maja yang
konon menjadi cikal bakal nama Majapahit. Di dekat situs Brahu terdapat situs
candi lainnya yang belum selesai dipugar. Batu-batunya masih terkumpul dalam bangunan
bertiang tanpa dinding. Sayang atap-atapnya mulai berlobang di sana-sini. Tak
banyak keterangan tentang reruntuhan candi itu. Tetapi menilik kompleknya yang
luas, tentulah dahulu bangunannya cukup megah apalagi berdekatan dengan
kompleks Candi Brahu. Kini di depannya, persawahan membentang dengan jalan
beraspal yang teduh oleh pepohonan. Dalam situs Trowulan kita dapat mengunjungi
beberapa tempat lainnya seperti Makam Putri Campa yang berasitektur Islam,
situs watu umpak, Candi Minakjinggo, Sitinggil, Candi Jedong dan Makam Troloyo.
Mungkin masih banyak lagi reruntuhan
bangunan yang masih terkubur di ladang, sawah, pekarangan dan rumah penduduk
karena setiap saat penemuan baru selalu terungkap.
Candi Brahu
Rasanya
tak akan cukup sehari mengunjungi Trowulan. Namun, mengunjungi tempat ini
merupakan tantangan tersendiri. Alih-alih disuguhi kompleks luas yang steril
dari pemukiman modern, kita seakan harus “mencari” sisa-sisa masa lalu diantara
tumpukan jerami perumahan yang riuh yang kini menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari Trowulan.