Metigi

Tanjakan cinta

Menuruni tanjakan cinta menuju Cemoro Kandang

Pagi membelah gelap di Ranu Kumbolo. Kami mendaki tanjakan cinta, siap memulai perjalanan ke puncak semeru. Perjalanan masih jauh dan tanjakan ini menguji niat kami. Konon dinamakan tanjakan cinta karena orang tak boleh berlama-lama berhenti di tengah perjalanan, seperti kalau sedang menjalin cinta harus terus menatap lurus ke masa depan. Jika berhenti, pustuslah hubungan itu. Dalam kasus yang sebenarnya, berhenti di tengah tanjakan ini malah bisa menguras tenaga, dan malahan lebih sulit lagi melanjutkannya. Ya, tanjakan itu tak terlalu panjang tapi cukup terjal. Jalanan setapaknya meliuk-liuk diantara rerumputan liar. Di atasnya pepohonan tumbuh miring menyeimbangkan diri dengan kekuatan gravitasi, menahan dahan-dahannya tetap menengadah kanopinya ke langit dan menghirup sinar matahari banyak-banyak.

Tiba di puncak tanjakan, pemandangan pun berganti. Di depan mata di kaki langit, terhampar savanna luas dibatasi hutan pinus di kejauhan. Cemoro Kandang. Dan nun jauh di sana, Puncak Semeru malu-malu menampakkan dirinya dari balik kabut pagi. Kami harus turun melalui jalan setapak yang melingkar mengelilingi separuh bukit dan kemudian tiba-tiba menemukan diri kami tenggelam di dasar lembah. Alang-alang setinggi dua meter lebih memagari jalan. Hutan alang-alang kemudian itu semakin memendek dan akhirnya kaki pun memasuki di gerbang hutan cemara.

Cemoro Kandang

Hutan Cemoro Kandang menyembunyikan suara-suara burung dintara ketiak pepohonannya. Pepohonan tumbuh tak terlalu rapat. Batang-batang cemara tumbuh menjulang bagai tiang-tiang raksasa. Sebagian melengkung dan menghitam tersambar petir. Batangnya menghitam menjadi arang, tapi pohonnya tetap berdiri angkuh. Tanah di hutan ini bergelombang naik turun. Semakin lama semakin menanjak. Dataran berpasir memotong jalan setapak. Jalan bekas banjir, tapi segera hilang ditelan hutan. Naik terus ke punggung bukit, kami menemukan diri kami di batas hutan. Di kejauhan, savanna membentang kembali muncul dengan alang-alang setinggi lutut. Pepohonan besar berdaun lebat hijau tua tumbuh bergerombol. Batangnyanya yang renta termakan usia tumbuh meliuk-liuk. Permukaan kayunya tertutup lumut tebal. Daun-daun merah menyala muncul dari pucuk-pucuk daun. Buah-buah kecil mirip beri menggantung di ujung daun. Pohon Metigi. Tak heran daerah ini dinamakan Metigi juga.

Metigi dengan latar belakang Puncak Semeru

Pohon metigi

Sejenis edelweis

Kami melewati jalanan setapak menerobos pohon-pohon metigi yang tumbuh rimbun seperti gerbang alam. Ketika keluar dari kegelapan baying-bayang daunnya, pohon-pohon edelweiss mulai terlihat, muncul dari balik semak-semak. Taman Edelweis. Bunganya yang kecil bergerombol muncul di puncak pohon kerdil ini. Pohon-pohon itu tumbuh menyebar diantara savana. Di kejauhan, hutan metigi kembali muncul dengan rimbunnya. Tapi kali ini ditemani dengan pemandangan menakjubkan, puncak semeru. Puncak segitiga berwarna kelabu nampak kontras dengan hutan di kakinya. Gurat-gurat di permukaannya nampak jelas dengan satu guratan panjang yang berujung di puncaknya. Di sanalah kami akan mendaki. Bukan untuk menaklukannya, tapi mengaguminya.

Previous
Next Post »

1 comments:

Click here for comments
3:25 PM ×

Pemandangan yang sangat indah...
Terima kasih atas share foto-fotonya.
Thanks

Congrats bro Valor Kedungjati you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Post a Comment
Thanks for your comment