Jolotundo, Nasibmu Kini


Pemandian Jolotundo dilatarbelakangi pepohonan rimbun

Jalan menanjak itu masih tetap sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Bedanya, kanan dan kiri jalan kini tak lagi dinaungi oleh tiang-tiang raksasa pepohonan. Pepohonan peneduh itu telah lenyap digarong massa.. Sejauh mata memandang hanya pucuk-pucuk jagung diselingi daun ubi kayu dan keladi liar. Pepohonan yang tersisa tumbuh berserak di antara hamparan lahan terbuka itu. Sementara pondok-pondok bambu menyembul di sana sini. Di kelokan jalan, tergantung papan kayu dengan tulisan “bumi perkemahan”. Tapi bumi perkemahannya ditumbuhi alang-alang liar. Dua kamar mandi sudah lama hancur dan pendoponya bocor. Siapa mau berkemah di sini?

Air mengalir dari pancuran

Yang tumbuh subur adalah warung-warung yang berderet di sepanjang jalan hingga ke depan gerbang Pemandian Jolotundo. Pemandian itu masih nampak asri. Dilatar belakangi hutan lebat menjulang di atas batu-batu kelabu berukir anggun. Air mengalir dari beberapa lobang batu menyejukkan dan masuk ke dalam kolam yang dipenuhi geliat ikan-ikan besar yang menari-nari.

Puluhan ikan berenang di kolam

Terletak di lereng Gunung Penanggungan, Jawa Timur, konon Pemandian Jolotundo memainkan fragmen penting dalam perjuangan Erlangga, menantu Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur yang gugur dalam penyerangan WuraWuri. Hanya Erlangga dan istri-istrinya yang selamat. Sebagai pewaris tahta sekaligus putera Udayana, raja diraja Bali, Erlangga tak begitu saja menyerah takluk dan berdamai dengan penakluknya. Bersembunyi di hutan-hutan, Erlangga diam-diam menghimpun kekuatan yang kelak mengusir sang musuh dari tanah Jawa sekaligus melapangkan jalannya ke tampuk kekuasaan.

Reruntuhan candi

Sayang kebesaran sang prabu legendaries itu nyaris tak tersisa di Jolotundo. Tak ada informasi yang memadai yang berkisah tentang puing-puing masa lalu ini. Yang ada hanya peringatan, jangan mandi atau memakai sabun. Kalaupun ada, terpampang kurang menarik. Tak ada pemandu yang piawai membawa pengunjung sejenak merasakan kemegahan masa silam. Hanya gemericik air yang berusaha bercerita tentang kala dulu. Batu-batuan candi ditumpuk begitu saja di dekat kaki kolam. Jalan setapaknya nyaris tak terawat. Di depan pendopo yang sengaja dibangun sebagai tempat istirahat pengunjung, tertera tulisan tebal. Bukan tulisan yang menggambarkan kemegahan sang candi, melainkan peringatan, ”awas atap runtuh”. Maklum, atap pendopo memang sudah bolong dan sewaktu-waktu bisa runtuh menimpa orang di bawahnya. Mengenaskan.

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment