Bersama keluarga Mas Hartanto (Mbak Desi, Alta dan Qila) dan Falla, kami memulai perjalanan dari
Olah Raga Dorong Mobil di Citalahap
Siangnya, kami bermobil ke kebun Teh Nirmala Sari. Perkebunan teh itu berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun. Cuaca cerah tanpa halimun, dan tujuan kami adalah berburu elang. Kalau beruntung elang jawa. Sayang tak satupun elang yang nongol. Belakangan kami sadar bahwa elang harusnya dicari di sisi hutan, bukan di langit di atas perkebunan yang terbuka. Jangan khawatir, masih ada kejutan yang mengasyikkan menanti kami.
Dengan mobil kami singgah di Citalahap. Kabarnya di sini ada home stay milik penduduk dan guest house. Di ujung pertigaan yang mencurigakan, kami sempat ragu-ragu memilih arah. Arah ke Citalahap berwujud jalan tanah tanpa batu. Kami memutuskan menuruni jalan menyusuri jalanan tanah. Pilihan yang salah. Benar-benar salah. Jalan itu menurun dan berakhir di ujung jalan setapak yang sempit. Di kejauhan, atap-atap rumah penduduk berjajar di depan hamparan sawah. Di seberang
“Jamur bercahaya”
Sajian unik lainnya, berlangsung pada malam hari. Dengan senter di tangan, Pak Apun, pemandu taman nasional, memandu kami menyusuri canopy trail di gelapnya malam. Bukan ke canopy bridge yang memang tertutup pada malam hari, melainkan menyaksikan “jamur bersinar”. Tanpa sorotan lampu, jamur-jamur itu memang bersinar redup, berpendar hijau seperti kunang-kunang. Jamurnya sendiri sangat kecil, tumbuh di ujung-ujung potongan ranting yang jatuh di lantai hutan. Beberapa jamur tumbuh di atas akar lapuk di sela-sela lumut tebal, menjadikan mereka seperti kumpulan bintang mini. “Jamur ini banyak tumbuh di sini. Mungkin hanya tumbuh di sini,” jelas Pak Apun. “Pernah ada yang mencoba membawanya pulang dan menumbuhkannya di rumah, tapi gagal,” lanjutnya.
Esoknya sajian utama menunggu. Ditemani Pak Apun yang fasih menerangkan segala hal tentang hutan, kami berangkat mencari owa jawa. Jenis gibbon langka ini hanya hidup di beberapa taman nasional di Jawa Barat. Penyebarannya tak pernah jauh. Bahkan bagi orang di luar jawa barat, kera ini nyari seperti makluk asing. Maklum, para sepupunya kebanyakan tinggal di Pulau-pulau seperti Sumatera dan
Berjalan menyusuri jalan babi di hutan basah Gunung Halimun, menyajikan sensasi tersendiri. Bunga-bunga mengintip dari balik akar. Pepohonan rotan meliuk dengan indahnya, terlindung dengan aman di balik duri-durinya yang gondrong. Sesekali pak Apun menghentikan langkahnya, berceloteh tentang berbagai tanaman unik yang tak akan kami temukan jika ia tak menunjukkannya. Di kelokan jalan sempit itu tersengar suara yang kami tunggu-tunggu. Suara pekikan owa!
Pak Apun menunjukkan jari telunjuknya ke atas pepohonan di atas kepalanya. Dan pemandangan cantik terhampar di depan mata kami. Seekor owa muda, bergelantungan di cabang-cabang pepohonan, memamerkan keahlian akrobatnya yang menjadikannya primata tercepat di
Jalan memutari hutan itu membawa kami menyeberangi sungai kecil yang berair deras. Tiba-tiba kami menemukan diri kami di belakang hamparan persawahan dan lapangan cukup luas. Camping Ground menyambut kami. Dengan sedikit jalan kaki melewati guest house, sampailah kami di jalanan tempat mobil kami mengalami musibah sehari sebelumnya. Bahkan beberapa ibu yang membantu mendorong mobil, masih sempat kami jumpai.
Sumpah ini Elang
Kali ini tak ada acara seru mendorong mobil lagi, jadi kami mendaki bukit dan menyusuri perkebunan teh. Matahari bersinar terik dan kami melintasi bukit di sisi hutan. Mata Pak Apun yang tajam menangkap elang di kejauhan. Dengan bantuan teropong, titik hitam di kejauhan pun segera menjelma menjadi sesosok burung bersayap lebar. “Elang,” ujar Pak Apun singkat. Tetapi tentu saja kami tak bisa mengetahui dari spesies apa. Dari kejauhan semua elang tampak sama. Bahkan jika Pak Apun bisa mengenalinya, itu tak berarti apa-apa bagi kami. Tiba-tiba Mbak Desi melihat seekor elang ular yang hinggap di atas pepohonan gundul di depan kami. Meski pun jaraknya cukup jauh, sosoknya yang tegap nampak menyolok. Elang ular itu (karena makanan utamanya memang ular), menatap kami dengan pongah seperti mengejek kamera kami yang sia-sia saja memelototinya. Maklum perbesaran kamera digital yang cuma paling banter 4 x optical zoom itu memang tak mungkin menangkap dengan detil lekuk-lekuk tubuhnya yang berbulu. Dengan acuh, sang elang terbang meninggalkan pohon tempatnya bertengger dan hilang di kerimbunan dedaunan.
Masih ada elang-elang lainnya yang terbang berputar-putar di awan. Kamera kami pun kembali dikecewakan. Di kamera Mas Hartanto yang 10 megapixel pun, sang elang hanya nampak seperti titik hitam di gumpalan awan raksasa. “Orang pasti tak percaya ini foto elang,” kata Mas Hartanto. “Kayaknya kita perlu kerja keras untuk meyakinkannya. Sumpah ini elang,” selorohnya.
Ucapan Selamat Tinggal Surili
Bahkan di penginapan pun, mata kami dimanja oleh kehadiran burung-burung elok yang menyambangi penginapan. Dua ekor jalak hitam, menggoda dari balik pagar dan hilang di bawah tangga. Seekor raja udang meninting menangkap ikan di kolam di belakang penginapan. Sayang kami harus kembali. Dengan petunjuk petugas taman nasional, kami memutuskan tidak mengambil rute awal, melainkan mengambil jalan ke arah Leuwiliang,
4 comments
Click here for commentsIni baru petualangan!!. Kayak baca cerpen. Hehehe.. Mantap Mas, kapan-kapan ajak-ajak saya ya
Replymasih ada yg nunggu mas, macan tutul, yuuk kesana lagi
Replywaaaahhhh... serunya... yah... sayang ismi nggak ikut... nginep sih ya... tapi seru tuh... bertualang tapi tetep nyaman... hehehehe... ketemu king of the jungle-nya nggak?? hehehehe... :p
ReplyKang, Muantapp reportasenya...
ReplyMampir kang di kedaihalimun.blogspot.com dan gulasemutaren.blogspot.com
Masih tentang Halimun,
Salam,
Suparno Jumar