Di Ranu Kumbolo kami sempat berkenalan dengan dua pemancing lokal: Pak Cip dan Mas Karyo. Keduanya warga Ranu Pani. Dari keduanya kami mendapat informasi tentang jalur lain yang sering dilalui penduduk lokal tetapi jarang dipakai para pendaki. Namanya Gunung Hayeg-hayeg. Gunung atau lebih tepatnya bukit hayeg-hayeg menjanjikan iming-iming serius: jalan pintas. Hanya 2 jam sampai ke Ranu Pani. KononMas Karyo sanggup menempuhnya dalam 1 jam.
Dipandu Pak Cip, akhirnya kami putuskan perjalanan pulang melalui jalur baru, Jalur Hayeg-hayeg. Medannya lebih menanjak, ujar Pak Cip ringan. Ajakan Pak Cip membuat kami bersemangat. Baru saja melewati celah diantara dua bukit, cobaan awal sudah menunggu. Tiba-tiba hujan mengguyur dengan lebatnya. Tak ada ampun karena kami berada di dataran terbuka. Tak ada tempat berteduh. Terpaksa perjalanan dilanjutkan dengan tubuh basah kuyup. Paling tidak kami tak kekurangan air. Kelebihan malah. Perjalanan panjang menyusuri padang rerumputan yang kian menghijau membawa kami ke kaki Hayeg-hayeg. Baru kami sadari memang benar-benar tanjakan tajam. Bukit itu nyaris 45 derajad. Dan kelakdi beberapa bagian malahan nyaris 90 derajad.
Pemandangan sangat cantik. Perlahan tapi pasti kami menembus kabut yang menggumpal. Satu tanjakan tajam dan kami melewati Ranu kembang. Namanya saja ranu, tapi tak ada airnya. Konon tempat ini sempat jadi taman milik pejabat kolonial. Kini tak ada taman yang tersisa. Hanya cerukan yang dipenuhi tanaman lebat.
Perjalanan semakin menanjak dan menanjak. Cobaan lain datang, longsor di beberapa punggung bukit. Terpaksa kami merayap. Tanah menjadi sangat lunak. Carrier terpaksa diangkat satu demi satu ke atas karang di atas kepala, barulah kami merayap meniti akar-akar tanaman. Pak Cip yang sama sekali tak terlihat kelelahan dengan sigap membantu dengan membuat takikan di tanah untuk pijakan kaki.
Menjelang siang halaman pertama terlewatkan, puncak hayeg-hayeg. Sekarang tinggal jalur turun. Jalur itu berkelok-kelok dan dalam mirip parit-parit sempit. Tapi tanahnya kering dan kuat. Menapak jalanan turun, membuat kami sadar, 2 jam adalah waktu biasa bagi penduduk lokal. Bagi pendatang bahkan bisa lebih lama. Maklum, masyarakat lokal memang terbiasa berjalan jauh. Bahkan dengan beban berat. Konon saat pembangunan pos di tepi Ranu Kumbol, bahan-bahan bangunan diangkut melewati jalur ini. Bayangkan, balok-balok kayu, semen dan batu bata diangkat melewati jalur yang kemiringannya nyaris 90 dearajad! Gila. Tapi ada yang lebih gila lagi, beberapa pengunjung yang melakukan upacara adat di puncak Semeru bahkan pernah membawa satu kerbau dan tiga ekor sapi, pulang pergi. Kerbaunya segera menemui ajalnya begitu sampai di kampung.
Terbukti kami kalah jauh dengan penduduk lokal. Dua jam berlalu dengan cepat. Menjelang sore, barulah atap-atap rumah menyembul dari balik kabut. Ranu Pani. Perjalanan yang melelahkan tapi mengasyikan. Kelak kami akan kembali melalui jalur ini!
Celah diantara dua bukit, awal perjalanan
Di dekat Ranu kembang
Perbukitan jadas di kejauhan
Kabut di punggung bukit
Akhirnya sampai di puncak Hayeg-hayeg
Lumut di atas ranting
Bunga merah menyala
Pakis raksasa di depan selimut kabut