Way Kambas Hari ke-1 & 2



Magrib menjelang di Cimahi saat saya dan Kang Agus mempersiapkan patung-patung badak yang akan kami bawa ke Way Kambas. Kang Agus memoles patung-patung badaknya─contoh badaknya lengkap: badak hitam afrika, badak putih afrika, badak india, badak jawa dan badak sumatera─dengan campuran cat hitam dan perunggu sebelum membungkusnya dengan hati-hati dengan kertas koran dan kemudian memasukkannya dalam kotak. “Hati-hati, ini binatang langka,” kelakar saya. Dengan bungkusan dan tas di punggung, kami setengah berlari loncat ke atas angkot. Hp segera berdering. Di ujung sana suara Kang Saleh terdengar tak sabar, menunggu kedatangan kami di pool bus malam. Benar saja ketika satu jam kemudian kami melompat turun dari bus kota, kami harus setengah berlari ke arah pool. Kamilah penumpang terakhir yang ditunggu. Syukurlah akhirnya sampai juga di atas bus. Sisa malam itupun dihabiskan dalam mimpi.

Saat membuka mata keesokkan paginya, bus sudah lama turun dari kapal penyeberangan Merak Bakahueni. Di Metro, Ade dan Gatot mengantar kami ke base camp WCS. Ketika sore menggantung, kami memutuskan masuk ke dalam Taman Nasional Way Kambas. Saya dan beberapa teman memilih duduk di atap kendaraan, seperti biasa. Pemandangan menjadi luas tak terhalang saat mobil kami melaju meninggalkan desa terakhir dan memasuki Plang Ijo, Gerbang Taman Nasional Way Kambas. Gajah-gajah bertebaran di mana-mana di sepanjang perjalanan. Diam membeku dengan berbagai pose. Maklum, namanya juga patung. Gajah memang jadi ikon Lampung.

Kini jalan tak lagi mulus. Jalanan bergelombang dan membuat tubuh kami─terutama yang di atap mobil─tergumvang-guncang. Kami harus waspada dengan daun-daunan dan ranting yang tiba-tiba muncul di depan kami. Salah-salah bisa terhantam olehnya. Tapi mata kami mencoba mencari-cari satwa diantara pepohonan lebat di sepanjang jalan. Sesekali, binatang muncul dari balik semak. Burung raja udang dan pergam bergantian nongol. “Kadang-kadang ada juga kuau yang muncu,”sela Kang Saleh. Tapi bukan kuau yang muncul di depan kami, melainkan burung yang juga tak kalah cantiknya dan langka, sempidan punggung merah.

Masalah lain menghadang selepas mengagumi sang ayam liar nan cantik. Jalan ini sedang dalam perbaikan. Tapi yang menjengkelkan, batu-batunya tak ditumpuk dulu di tepi jalan, melainkan disebar di tengah jalan. Barulah nanti batu-batu itu dihancurkan. Cara yang efektif, mungkin. Maksudnya efektif membuat ban mobil robek soalnya batunya runcing-runcing. Maka mobil pun harus berjibaku di tepi jalan untuk menghindari batu-batu runcing yang siap menyayat ban kami. Dan berakhirlah kenikmatan duduk di atas atap mobil. Kini semuanya harus berada di dalam mobil, meskipun masih terguncang-guncang juga. Tak ada lagi atraksi binatang hutan. Mungkin mobil kamilah yang sekarang menjadi atraksi menarik bagi binatang hutan. Bahkan suara siamang seperti terdengar mentertawakan kami. Sial! Tapi ketika mobil bergasil keluar dari masalah dan menapak di atas halaman SRS (Sumatran Rhino Sanctuary) yang rata, kami bisa bernafas lega. Apalagi beberapa saat kemudian, atraksi alam lain terpampang di depan mata. Seekor rusa jantan besar berendam di kolam di depan kantor SRS, mengunyah ganggang dengan cueknya. Sayang cahaya blitz tak kuasa menandingi gelapnya malam.

Paginya, suara siamang terdengar bertalu-talu, melantun membahana ke seantero sudut hutan seperti paduan suara yang melantunkan nyanyian rimba. Entah ciptaan siapa. Kunjungan pertama datang dari Teji, seekor babi hutan kecil, yang tanpa permisi mengendus-endus di halaman belakang kantor SRS. Dua ekor babi hutan yang lebih bomber kemudian bergabung dengannya. Marcel menyarankan kami mengunjungi kandang badak. Kandang itu mirip Jurassik Park. Apalagi binatang yang ada di dalamnya memang diyakini sebagai jenis badak paling purba. Klop lah. Bagian tepinya yang sepanjang 4 kilometer, dibatasi oleh pagar beraliran listrik. Sengatan listriknya cukup untuk mengagetkan sang badak─dan orang di luar kandang─untuk menjauhi pagar. Saya jelas tak mau menyentuhnya. Tapi saat ratusan kepompong kupu-kupu bergelantungan di kawat pagar, tanpa sadar saya menyentuhnya. Dan itulah pertama kali saya merasakan sengatan listrik SRS. Rasain!

Setahun yang lalu saya sempat melihat Bina dan Rosa. Kini kami mencoba mencari Ratu dan Torgamba. SRS yang luasnya 100 hektar terbagi atas 5 bagian. Cukup untuk lima atau 7 ekor badak. Pada masing-masing bagian itulah, kelima badak koleksi SRS berkeliaran. Hanya seekor badak jantan, Torgamba. Tiga lainnya cewek: Bina, Ratu dan Rosa. Di ujung setiap kandang terdapat kandang sempit untuk memberi makan badak sekaligus untuk memeriksa kesehatannya dan mengetahui berat tubuhnya. Di situlah kami mengintip sang badak langka. Torgamba sempat hidup di luar negeri, tepatnya di Kebun Binatang Porth Lymphne selama beberapa tahun sebelum akhirnya mendarat di SRS pada Januari 1998. Bina dulunya dari Taman Safari Indonesia. Mungkin koleksi terakhir badak di kebun binatang dan taman safari kita. Saat ini tak satupun lembaga konservasi ex-situ di Indonesia yang memiliki badak sumatra. Semuanya mati. Ironisnya badak-badak itu malahan hidup di kebun binatang-kebun binatang di Amerika Serikat.

Rosa dan ratu punya kisah menarik. Keduanya ditemukan di perkampungan. Rosa bahkan masuk jauh ke perkampungan di dekat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan kelihatannya tak takut sama sekali dengan manusia. Bahkan badak betina remaja ini suka masuk ke dapur dan berendam di empang. Untunglah orang kampung mau menerimanya. Sebaliknya Ratu (diambil dari nama Labuan Ratu), datang ke perkampungan yang penghuninya belum pernah melihat badak. Bahkan badak ini sempat dianggap sebagai makluk jadi-jadian alias babi ngepet. Melihat bahaya yang akan datang jika para pemburu mengendus kehadirannya, tim RPU, Departemen kehutanan, taman nasional, SRS dan lembaga yang lain segera mengungsikan keduanya ke dalam SRS pada tahun 2005. Kelak badak-badak ini akan dijodohkan dengan Torgamba, satu-satunya badak jantan di SRS. Tapi perkembangbiakan badak sangatlah sulit. Selama bertahun-tahun, tak ada keturunan yang muncul. Mula-mula karena saat ditangkap, Torgamba masih terlalu muda sehingga tak mempunyai pengalaman kawin. Tapi belakangan, saat badak ini mau kawin, Torgamba dinilai terlalu tua dan kualitas spermanya meragukan.


Previous
Next Post »

1 comments:

Click here for comments
RonggoLawe
admin
12:09 PM ×

MAs Koens...Slam Kenal...
Saya arif..beberapa waktu lalu saya juga berkunjung ke Waykanan, kebetulan lagi rame2nya SRS kedatangan tamu "Andalas"....
Saya bkn pencinta alam, atau mahluk yg ada hubungannya dg konservasi atau semacamnya..saya cuma kebetulan penikmat alam...suka jalan2 ke tempat2 yang eksotis gitu..
Sempat ketemu juga dg Bang Marcel dkk..tapi saya nginap di Pos Waykanan, ditemani oleh Pak prapto (komandan Polhut)..

Saya ingin menyisakan waktu hidup saya untuk menikmati hal2 begini...Mohon dibimbing ke jalan yg benar...hehehehe...

Regards,
Arif Darmawan
arif.drmwn@gmail.com

Congrats bro RonggoLawe you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Post a Comment
Thanks for your comment