The Wind in the Willows Kesederhanaan yang tak lekang oleh waktu


Ia tidak ingin mengabaikan kehidupan barunya. Dunia di atas sana terlalu menarik. Tempat itu memanggil-manggil ke dalam dirinya. Namun sungguh melegakan karena dia punya tempat untuk pulang, rumahnya sendiri, hal-hal yang pasti membuatnya diterima. Sungai adalah tempat bertualang. Di sini adalah rumahnya.
Untaian kalimat itu mengalir dengan lancar dalam goresan pena Kenneth Grahame. Renungan Molly, sang tikus mondok, seperti mengungkapkan pemikiran mendalam tentang artinya pulang. Tokoh-tokoh dalam rekaan Grahame dalam The Wind in the Willows seolah pesonifikasi dari kehidupan sederhana masyarakat pedesaan. Dalam kasus Grahame adalah pedesaan di tepian sungai Thames dan Hutan Windsor, Inggris. Dengan kepiawaiannya, Grahame yang sangat terkenang dengan masa kecilnya di kampung halaman neneknya menggambarkan dengan indah kehidupan desa yang sederhana dan berbagai kejadian  kecil yang menyertainya. Lewat tokoh-tokohnya, Grahame mengungkapkan artinya persahabatan, kejujuran, kebersamaan dan kesetiakawanan. Sebuah cerita yang sangat sederhana tetapi menawan. Tak heran bukunya tetap dibaca hingga seratus tahun lebih setelah penerbitannya pada tahun 1908.
The Wind in the Willows menceritakan kehidupan di sepanjang sungai kecil di tepian hutan. Ada tikus sungai yang suka berperahu, tikus mondok yang mencoba bertualang jauh dari liangnya yang gelap, badger yang penyendiri tapi bijak dan katak yang cerewet, ceroboh, sombong dan suka lupa diri sekaligus jujur dan baik hati. Cerita ini bukan fabel murni karena masih ada tokoh-tokoh manusia seperti gadis puteri penjaga penjara, pemilik mobil yang mobilnya dijahili katak, dan pengembara gipsy yang membeli kuda curian sang katak. Grahame menggambarkan konflik sederhana antara keinginan mencoba sesuatu yang modern (dalam hal ini diwakili kehidupan kota kecil dan mobil) dan kerinduan mendalam untuk pulang ke kehidupan kampung yang damai (diceritakan dalam perebutan kembali kastil sang katak dari genggaman para weasel). The Wind in the Willows mewakili kegalauan industrialisasi yang menyerbu desa-desa di Inggris Raya pada era 1900-an. Tak seperti George Orwell yang menggambarkan fabelnya (Animal Farm) secara sinis, Grahame menceritakan kisahnya dengan bahasa kanak-kanak yang riang dan naif. Tanpa mengurangi sisi petualangan, Ia menggambarkan tokoh-tokohnya dalam ikatan dekat kekeluargaan pedesaan yang kental sambil menebarkan pluralisme dalam tokoh-tokohnya. Tak lupa Grahame juga menampilkan kesan mistis lewat penggambaran hutan di batas desa yang menyeramkan dan perjumpaan tikus tanah dan tikus air dengan pan, manusia setengah binatang dari mitologi Yunani kuno. Grahame menggambarkan perjumpaan itu dengan lembut sekaligus mendebarkan.
“Tikus tanah merasakan kekaguman yang luar biasa menerpanya. Rasanya seperti teror, tetapi bukan yang menyebabkan kepanikan, melainkan keajaiban serta kedamaian. Ia menundukkan kepala. Sesuatu yang agung berada sangat dekat dengan mereka..........”
The Wind in the Willows adalah kenangan masa kecil Grahame di kampung halaman neneknya saat ia dititipkan oleh ayahnya yang putus asa setelah kematian ibunya. Buku ini adalah buah petualangan masa kecilnya menyusuri sungai dan ilalang dan bergaul dengan para penduduk desa yang sederhana. Tapi Grahame juga memasukkan gambaran tentang putra tunggalnya, Alastair, dalam tokoh sang kodok yang suka bikin masalah tetapi setia kawan. Kelak sang putra tak sempat mengikuti jejaknya karena mati muda. Anak malang yang terlahir separuh buta itu ditemukan tewas di rel kereta api  menjelang ulang tahunnya yang ke dua puluh. Grahame yang tak bahagia menumpahkan semua impiannya tentang kehidupan desa yang ceria dan bahagia dalam bukunya. Bagi pembacanya, The Winds in the Willows adalah buah pena emas Grahame yang tak lekang oleh waktu,. Bagi Grahame sendiri buku ini adalah kisah hidupnya sendiri, impian yang tak tergapai dan kenangan yang membekas sangat dalam.
Sayangnya The Wind in the Willows yang begitu dikenal dalam dunia kesusasteraan Barat, kurang dikenal di sini. Maka penerbitan kembali oleh Mahda Books patut diacungi jempol. Meski pengerjaannya terkesan terlalu seadanya untuk karya sebesar ini, namun penterjemahnya mampu menuangkan kembali keindahan dan kesederhanaan Grahame dalam bercerita. Kenakalan sang katak yang menjadi tokoh yang paling mewarnai buku ini, tergambar dengan lugas. Hanya penterjemahan kalimat-kalimat Grahame yang kuat dan berima kurang terasa dalam buku ini. Tapi pembaca masih ikut terhanyut saat merasakan tarikan kuat dalam hati tikus tanah saat ia dan temannya, tikus air, lewat di dekat rumah lamanya. Tarikan antara kerinduan untuk pulang dan keinginan membara untuk bertualang. Yang cukup mengganggu mungkin ilustrasinya yang kurang kuat dan kurang dalam menggali karakter-karakternya. Ilustratornya juga kurang berani menampilkannya ilustrasinya dengan gayanya sendiri. Kesannya, ilustrasinya sengaja dimirip-miripkan dengan ilustrasi para pelukis di buku-buku sebelumnya terutama E. E Shepard.  Bagaimanapun juga, menterjemahkan karya sebesar ini memang menjadi beban tersendiri.


Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment