Kembali ke SRS

Torgamba

Rosa

Menyusuri kandang badak

Akhirnya kesempatan mengunjungi SRS (Sumatran Rhino Sanctuary) lagi kesampaian. Kunjungan terdahulu rasanya kurang lengkap karena belum sempat menjenguk Andalas, badak kelahiran Cincinati Zoo. Bersama para pemenang lomba poster badak Rhino Care 2008, aku kembali ke Way Kambas. Masih dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan kekaguman yang sama. Kali ini bukan hanya Teji, sang babi hutan, yang menyapa, melainkan juga Si Cecep rusa sambar yang datang menyambut kedatangan kami. Karena sudah malam, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain ngobrol dan cabut ke kamar tidur.
Andalas

Paginya birdwatching dimulai. Meskipun dikenal dengan gajahnya karena ada Pusat Latihan Gajah , di manca negara Way Kambas lebih tenar karena keanekaragaman burungnya, sesuatu yang justru belum banyak dikenal oleh kita sendiri. Tapi berjalan kaki sebentar di sepanjang kandang badak sudah membuktikannya. Berbagai jenis burung termasuk srigunting ekor panjang dan alap-alap kecil malu-malu memamerkan bulu-bulunya di balik pepohonan. Sementara raungan siamang dan gemerisik kawanan beruk meramaikan perjalanan. Kandang itu sendiri luasnya 100 hektar, dibatasi aliran listrik di sekelilingnya, menimbulkan kesan seolah memasuki "Jurassic Park". Dan binatang yang ada di dalamnya meskipun bukan dari Era Jurassic, masih tergolong purba. Badak sumatera adalah badak terkecil sekaligus paling primitif. Dari kelima spesies badak yang masih hidup (badak putih dan hitam afrika, badak india dan badak jawa), binatang ini adalah yang paling panjang rambutnya, membuatnya selalu dihubung-hubungkan dengan badak berambut wol dari zaman es.
Pengamatan burung kamipun berselang-seling dengan pengamatan satwa lainnya: muncak yang melintas di kejauhan, siamang bergelantungan jauh di atas kepala kami dan babi hutan yang sibuk mengorek tanah dengan moncongnya yang kuat. Tetapi pertunjukan sesunguhnya adalah kelima badak sumatera di kandangnya masing-masing. Inilah badak kedua paling langka di dunia setelah badak jawa. Dan kami beruntung menyaksikannya karena tak ada tempat lainnya di Indonesia yang memaerkan badak ini. Hanya kebun binatang di Amerika Serikat sana yang menjadi rumah kedua badak gondrong ini.
Rosa, Andalas dan Torgamba menampakkan diri lebih dulu. Rosa, badak selebritis, muncul dari semak-semak, mendengus-dengus udara dan dengan cueknya melahap dedaunan di dekat pagar kandangnya, membiarkan kilatan blits kamera menghujaninya. Ia mengangguk-anggukkan kepala, memamerkan kunyahannya yang berisik, melirikkan matanya dan mengoyangkan badannya yang gemuk sebelum kembali ke hutan mengikuti keepernya. Andalas tak segenit Rosa. Badak sumatera kelahiran Cincinati Zoo ini memamerkan tubuhnya yang kekar, terbesar diantara badak lainnya di SRS, mondar-mandir di dalam kandangnya, memeriksa dengan telaten setiap batang besi hitam yang melindunginya dan dengan lenguhan ringan, melengos pergi dengan pongahnya. Torgamba sepertinya acuh dengan kedatangan kami. Ia mondar-mandir disekitar kandangnya, keluar ke pepohonan besar dan berjalan kembali ke kandangnya, berusaha membuktikan ia masih cukup bugar menjadi pejantan tangguh. Badak yang sempat kos di Inggris ini, termasuk angkatan pertama badak yang ditangkap di hutan bengkulu sebagai bagian proyek penangkaran badak sumatera. Ketiga sejawatnya menemui ajal, Torgamba bergeming kendati belum sekalipun menghasilkan keturunan.
Jeda sebentar diisi sarapan pagi. Kunjungan dilanjutkan dari atas mobil bak terbuka, melongok dua badak yang tersisa: Bina dan Ratu. Sang Ratu pun perlu diperiksa kondisi kesuburannya oleh Drh. Dedy. Mirip sapi, Ratu juga harus merelakan bagian terlarangnya diobok-obok. "Masih berpotensi, ujar Drh. Dedy sambil tertawa, melepaskan sarung tangannya yang panjang dan melepaskan ratu dari jepitan. Badak super buntet ini pun menatapkan matanya yang seperti manik-manik ke hadapan pengunjungnya. Tersesat di perkampungan penduduk dan kemudian diungsikan ke SRS, Ratu menjadi betina ketiga di SRS setelah Dusun dan Bina. Sayang Dusun sudah mati tua. Kini selain Ratu, badak betina lainnya adalah Bina dan Rosa.
Bina yang kekar berjalan dengan kaki-kakinya yang kekar, melongokkan wajahnya dari sela-sela besi kandang dan seskali memejamkan matanya yang dihinggapi lalt raksasa. Marcelius Adi, memungut salah satu lalatnya dan menunjukkannya kepada kami. Bukan main, lalat kebo, begitu biasanya dikenal, jauh lebih besar daripada lalat biasa. Lalat yang biasa diketmukan di sapi dan kerbau ternak itu memang masuk akal mengerubiti para badak,. Jarak SRS dengan perkampungan tak terlalu jauh. Karena itulah para dokter hewan di SRS rajin mengamatinya, bukan hanya pada badak tetapi juga pada ternak penduduk di sekitar taman nasional.
Kibasan ekor Bina yang buntung mengakhiri kunjungan hari ini. Dengan oleh-oleh puluhan foto menarik dan belasan pacet yang dengan kurang ajar memanfaatkan kelengahan dan diam-diam menghisap darah kami hingga badannya tambun. Di SRS, si rusa sambar dengan angkuhnya menatap mobil kami, sebentar, lalu dengan cuek melahap rerumputan segar. Ia sama sekali tak peduli ketika kami mengambil gambarnya. Bahkan dengan kenesnya membalikkan tubuhnya, memamerkan tanduknya yang baru tumbuh. Mungkin pikirnya, tak cuma badak yang bisa dikagumi.

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment