Ironi itu

Ironi nampaknya terjadi di mana-mana. Di depan Tugu Kujang, Bogor juga begitu. Ketika orang-orang keluar sambil menenteng barang belanjaan berjubel, mereka segera dihadapkan dengan kenyataan lain yang jauh berbeda dengan tempat mereka menghabiskan waktu seharian. Tepat di seberang Botani Square yang dingin, teratur dan nyaman dengan berbagai fasilitas perbelanjaan yang tergolong wah, ada suasana lain yang berbalik seratus delapan puluh derajad. Angkot berdesakan sambil main serobot dan membunyikan klakson keras-keras.

Di depan pos polisi di sudut jalan, beberapa orang berpakaian lusuh duduk-duduk sambil ngobrol. Sebagian besar anak-anak muda, cowok dan cewek. Bahkan ada balita yang bermain-main di belakang pos polisi yang berbatasan dengan pagar Kebun Raya Bogor yang terkenal itu. Sebagian menenteng gitar, kecil atau besar. Lainnya membawa tape recorder, untuk karaoke. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah menyala, dengan seketika mereka menyerbu ke dalam angkot. Para remaja tanggung memainkan lagunya, sementara para balita membagikan amplop kosong. Mereka duduk di depan pintu sambil menyanyikan lagunya. Kebanyakan lagu-lagu terbaru, tentus aja sebagian dengan nada sumbang. Tapi ada juga yang suaranya bagus. Di perempatan dekat Hotel Pangrango atau Telkom, para balita meminta amplop yang dibagikan. Para penyanyi cilik inipun turun dari angkot dan ngamen pun berulang kembali. Remaja tanggung menggandeng balita menyusuri jalan sambil mencari peluang memperdengarkan suara sumbangnya pada siapa saja yang berbelas kasih pada mereka.

Kadang-kadang merasa bersalah juga belanja di mall, meskipun belanjaan kita hanya gulungan kertas atau pewarna yang memang dipakai buat kerja. Bukan belanjaan pakaian atau makanan mahal, seperti sebagian belanjaan para pengunjung lainnya. Maklum kerjaku memang berkaitan dengan pembuatan ilustrasi. Tapi jadi lain rasanya melihat kenyataan di depan kita. Suasana mall yang dingin dan nyaman seketika berubah panas menyengat dan berdebu. Wajah-wajah segar dan busana mentereng digantikan wajah-wajah acuh, memelas dan kumal. Ada rasa bersalah menyembul. Ketika dengan enteng kita mengeluarkan lembaran puluhan ribu rupiah, di depan mall yang sejuk ini, puluhan anak sedang berjuang mencari ribuan lembar rupiah untuk menyambung hidup. Naif? Mungkin. Mereka memang dimanfaatkan oleh orang dewasa (mungkin juga orang tuanya) untuk mengais rezeki dengan tampang kanak-kanaknya. Mungkin benar juga. Tapi pasti orang tua dari golongan menengah ke bawah yang mau memaksa anak-anaknya menjadi pengemis. Orang-orang berduit yang rajin berkunjung ke mall tentu tak mau anaknya bertampang kusut dan menyodorkan amplop kosong pada siapa saja yang ditemuinya.

Bocah-bocah lugu yang seharusnya bermain dan sekolah, bergelut dengan debu, terik matahari dan lalu lintas yang parah. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, kata Iwan Fals. Dimana peran negara? Tak tahu. Tak ada sekolah gratis, tak ada jaminan kesejahteraan, semua warga harus bergelut sendirian tanpa perlindungan negara. Tapi pertanyaan yang lebih penting, apa yang bisa kita lakukan? Atau paling tidak, pernahkan kita sekedar berempati? Atau biarlah ironi itu tetap berlangsung. Selamat memilih!

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment