Avatar, Kartun Gado-gado, Pertemuan Barat dan Timur


Ketika Amerika diserbu anime-anime (kartun Jepang) Jepang, Jaringan Nickelodeon bergeming. Demam Dragon Ballz atau Pokemon tak membuat Nickelodeon yang antara lain terkenal dengan kartun Spongebob dan Dora The Explorer, ikut-ikutan. Mereka malahan mengejutkan jaringan televisi lainnya dengan meluncurkan Avatar. Di Indonesia, film Avatar disiarkan oleh Global TV. Di Indonesia dan di negara-negara Asia lainnya, judulnya adalah Avatar, The Legend of Aang. Di negeri asalnya, Avatar diberi judul Avatar, the Last Airbender (Pengendali udara terakhir). Sekilas film ini mirip anime lengkap dengan ciri khasnya, mata bulat besar membelalak dan bayangan di hidung. Tapi sesungguhnya Avatar bukanlah Anime. Film ini produk Amerika tulen.

Pencipta Avatar adalah duo Bryan Konietzo dan Michael DiMartino. Duo kartunis yang sempat menelurkan film kartun-film kartun televisi semacam Family Guy dan King of The Hill ini, menyebut kartun mereka, “kartun yang dipengaruhi Asia.” Bukan hanya gaya animasinya yang lebih mendekati kartun Jepang dan Korea daripada Amerika, tetapi settingnya memang sangat Asia. Avatar menceritakan negeri antah berantah yang bergaya Asia. Di awal kisahnya diceritakan tentang 4 negeri yang hidup makmur yaitu Kerajaan Tanah, Negara Api, Suku Air dan Pengembara Udara. Masing-masing mempunyai pengendali unsur-unsur negaranya. Orang-orang inilah yang dikenal sebagai Avatar. Avatar diperlukan untuk menjaga keseimbangan diantara kekuatan-kekuatan negara tersebut. Setelah hidup dalam kedamaian selama ribuan tahun, tiba-tiba negara api menyerang negara-negara lainnya. Pada saat dibutuhkan, Avatar menghilang secara misterius. Seratus tahun kemudian secara tak sengaja, dua bersaudara suku air, Katara dan Sokka, menemukan seorang bocah berumur 12 tahun yang terkurung bola salju bersama seekor Yak raksasa. Bocah yang bernama Aang itu mengaku sebagai Avatar yang hilang. Bersama Aang, mereka berpetualang menumpas kejahatan negara api.


Reinkarnasi a la Llama

Pengaruh Cina pada film ini sangat kuat. Lihat saja penampilan Aang yang mirip pendeta Shaolin lengkap dengan tongkat panjangnya. Namun, Konietzo dan DiMartino juga mencampurkan unsur-unsur budaya lainnya, seperti India, Mongolia, Inuit, Jepang, Korea dan Tibet. Suku air yang diwakili Katara dan Sokka dicomot dari kehidupan kaum Inuit atau Eskimo di Kutub Utara. Lalu pasukan negara api dan sebagian besar masyarakat negeri dongeng di Avatar, mirip dengan masyarakat Cina kuno lengkap dengan istana dan perbukitannya. Pagoda-pagoda Jepang ditampilkan berdampingan dengan istana-istana nan indah. Masyarakat Kerajaan Tanah ditampilkan seperti masyarakat campuran India dan Tibet kuno. Pengaruh Tibet juga terasa pada reinkarnasi Avatar. Saat kecil, Aang disuguhi berbagai macam benda. Karena ia memilih benda-benda yang diyakini sebagai milik Avatar sebelumnya, maka dia dipercaya sebagai reinkarnasi Avatar mirip dengan pemilihan Llama di Tibet.

Tak sampai di situ, Bryan Konietzo dan Michael DiMartino juga menciptakan binatang-binatang unik berdasar kombinasi binatang-binatang lumrah. Misalnya, di Negeri Air Aang menjumpai binatang gabungan antara penguin dan anjing laut. Appa, sahabat dan binatang peliharaan Aang adalah seekor Yak (sejenis sapi Tibet) raksasa yang berekor tebal bak beaver dan bisa terbang. Kendaraan pasukan negara api adalah triceratops, dinosaurus bertanduk tiga. Lalu masih ada Momo yang mirip gabungan monyet dan kelelawar. Keunikan lainnya, Kartun Avatar, seperti dikutip dalam situs Wikipedia, ditampilkan mirip sebuah buku. Setiap episode dianggap chapter (bab) dan setiap musimnya dianggap sebagai buku. Penampilan a la kitab silat itupun dipertahankan saat Avatar dibuatkan buku dan game-nya.


Konsultan Kungfu dan Kaligrafi Cina

Avatar sendiri berasal dari kata Sansekerta, avatara, yang berarti turun. Unsur-unsur dalam Avatar adalah unsur penyusun kehidupan yang dikenal dalam kebudayaan kuno terutama Asia: tanah, api, air dan udara. Untuk memperkuat kesan Asianya, Konietzo dan DiMartino tak mau tanggung-tanggung. Mereka belajar Yoga dan menyewa jasa penasehat kungfu bernama Sifu Kisu, seorang instruktur kungfu di Los Angeles. “Agar adegan kungfunya kelihatan lebih otentik,” kata DiMartino beralasan. Bahkan tulisan-tulisan dalam filmnya benar-benar tulisan Cina kuno yang sudah jarang sekali dipakai. Untuk urusan itu mereka musti bersusah payah berkonsultasi pada ahli kaligrafi Cina, Siu-Leung Lee. Untuk mengerjakan kartunnya, lagi-lagi Konietzo dan DiMartino menggunakan jasa para pelukis Asia, tepatnya Korea. Kalau yang ini bukan melulu karena pertimbangan “rasa Asia”, melainkan juga karena Korea dikenal sebagai surga bagi kartunis dunia. Berbagai film kartun merupakan produk coretan para seniman Korea. Agar rasa Asianya tetap kuat, duet Konietzo dan DiMartino tak segan-segan memberikan kebebasan kepada para kartunis JM Animation dan DR Movie dari negeri ginseng itu untuk leluasa berkreasi. Maka jadilah Avatar kartun Barat yang kental dengan cita rasa Timur.

Dengan adonan gado-gado itu Avatar ternyata mampu menyodok ke jajaran atas diantara kartun-kartun televisi yang lain dan bersaing dengan anime-anime yang memang “Asia tulen.” Memang tak selamanya batas antara Barat dan Timur begitu tegas. Avatar membuktikan bahwa Barat dan Timur pun bisa saling menguatkan dan menciptakan irama yang indah. Tentu saja kartun ini memang sengaja diciptakan untuk menarik pasar Timur dan Barat sekaligus. Klop lah!


Previous
Next Post »

3 comments

Click here for comments
Anonymous
admin
9:16 AM ×

ternyata penggemar avatar. Baru tau nih kalo yg buat bukan org Jepang. Tapi memang keliatan juga sih dari ide2nya

Reply
avatar
koensetyawan
admin
12:30 PM ×

He...he...kecele ya...

Reply
avatar
anie
admin
2:57 PM ×

keren... memberikan ilmu keseimbangan.

Reply
avatar
Post a Comment
Thanks for your comment