Menikmati Urat Kehidupan Sungai Mahakam

Kesempatan untuk menyusuri sungai mahakam akhirnya datang. Kakak iparku mengajak memancing di muara mahakam. “Ikannya banyak. Kalau kita datang agak siang, kita bisa liat puluhan bekantan di hutan bakau,” katanya. Sebenarnya bukan memancingnya yang membuatku tertarik. Tetapi bekantanlah yang membuatku lebih bersemangat.
Tengah malam, ketika Samarinda tertidur lelap, kami berangkat ke dermaga. Dengan perahu kecil, kami berangkat di kegelapan. Belasan orang yang lebih dulu datang lengkap dengan peralatan pancingnya mulai bercakap-cakap dengan akrab. Ini tim lengkapnya, bisik kakakku. Di kejauhan hanya lampu-lampu di tepian yang terlihat. Perlahan, perahu meninggalkan dermaga, membelah kepekatan malam.


Menjelang pagi, perahu merapat ke hutan nipah. Lokasi pemancingan sebenarnya adalah sebagian lahan tambak yang belum diolah. Matahari baru saja muncul saat kami memasang kail. Tapi hingga siang, hanya 6 ekor ikan yang tertangkap. Jauh berbeda dengan promosinya. Bahkan tak seekor bekantan pun yang muncul. Tak disangka justru perjalanan pulanglah yang lebih mengasyikkan.

Selepas tengah siang, perahu meninggalkan lokasi pemancingan. Ternyata hampir semua peserta pemancingan kecewa dengan hasil yang mereka peroleh. Perahupun melaju dengan sepi karena sebagian besar penumpangnya memilih tidur. Hanya beberapa orang yang makan dan minum. Aku membunuh waktu dengan menikmati tepian mahakam. Pepohonan lebat berselang-seling memagari bibir sungai seperti pagar berwarna hijau. Elang bondol beterbangan di atas air. Tiba-tiba burung itu menukik turun. Di atas permukaan air sayap dan ekornya terentang, cakar-cakarnya terbuka. Dan dalam beberapa detik, sang elang terbang dengan membawa kabur seekor ikan di kakinya.
Hutan bakau berselang-seling dengan rumah-rumah panggung. Kayu-kayu penyangga yang kokoh menopang rumah-rumah itu dengan kuat. Konon katanya kayu ulin penyusunnya, akan semakin kuat jika terendam air. Di beberapa rumah, tonggak-tonggak itu mulai doyong, tetapi tetap namapak tegar. Hanya api yang bisa memusnahkannya. Tapi tak perlu khawatir, ada cukup banyak air untuk memadamkan api: air Sungai Mahakam.


Semakin mendekati kota, semakin banyak rumah-rumah panggung bermunculan. Bukan hanya rumah tinggal, melainkan gudang kayu yang reot, kamar mandi, tempat penjualan ikan, warung nasi, bahkan rumah bilyard. Semuanya berada di atas air. Perahu-perahu hilir mudik membawa penumpang, menurunkan anak-anak sekolah, mengangkut hasil bumi, dan bahan bakar. Di beberapa tempat, kapal-kapal besar pengangkut batu bara bersliweran di sungai yang luas itu. Di tepian sungai kapal-kapal yang masih baru menunggu giliran dicat. Sebuah kapal sedang berfungsi sebagai stasiun pengisian bahan bakar. Hebat, sebuah SPBU terapung!


Rumah-rumah panggung dan para penghuninya terlihat unik. Ini pemandangan yang sangat berbeda dengan di Jawa. Di sini, orang-orang menyatu dengan sungai. Anak-anak kecil menonton perahu yang mendekati rumah mereka dengan pandangan ceria. Beberapa orang anak membuka bajunya dan terjun ke dalam sungai yang kecoklatan. Seorang ibu menggandeng anaknya turun ke tangga kayu dan memandikannya. Beberapa gadis dengan kain hingga sedada, mengguyurkan air ke tubuhnya, menghirup kesegaran air Mahakam. Beberapa orang lelaki memanfaatkan perahu-perahu yang tertambat sebagai bak mandinya dan menyiramkan air sambil berbincang-bincang dengan lelaki di sebelahnya.

Rumah-rumah panggung itu terbukti sudah bertahan ratusan tahun hidup berdampingan sungai mahakam. Merasakan air pasang dan dinamika sungai, terbukti kokoh menghadapi tantangan lingkungan yang selalu basah. Rumah panggung rupanya juga kokoh menghadapi bahaya di daratan yang sering kali merepotkan: banjir. Samarinda yang berdataran rendah memang menjadi langganan banjir. Bahkan nama Samarinda sendiri konon juga berarti “sama rendah”. Sama rendah dengan permukaan sungai.


Sebenarnya rumah-rumah panggung itu sudah menyediakan jawaban bagi permasalahan banjir. Namun seperti kebanyakan kota di negeri kita, tak ada pendekatan unik dalam pembangunan kota. Semuanya sentralistis. Semua kota dianggap sama kondisi dan lingkungannya. Tak heran semua dibangun seragam. Kota-kota di Kalimantan pun kini tak berbeda dengan kota-kota di Jawa. Jauh di daratan, rumah-rumah panggung digantikan rumah-rumah berdinding tembok dengan lantai sejajar permukaan tanah. Hanya disain atap saja yang tetap dipertahankan. Itupun dengan pertimbangan estetika dan bukannya pertimbangan kemanfaatannya. Maka banjir tahunan pun bisa dinimati siapa saja di dalam kota. Hanya rumah panggung di tepian sungai yang tetap nyaman dan kering. Demi sebuah kemajuan, kenyamanan pun dikorbankan.

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment