"Crash", Potret Buram Kita Bersama



Kemarin baru sempat nonton film Crash-nya Paul Haggis. Kayaknya film itu cocok dengan kondisi bangsa kita saat ini. Film peraih Oscar yang mengangkat tema rasialisme itu memotret betapa sebagian dari kita digerakkan hanya oleh sikap prasangka. Ketika kita memprotes keras perlakuan sebagian Negara-negara barat terhadap kaum muslimin yang disalahtafsirkan sebagai kaum teroris, kita juga melakukan diskriminasi terhadap orang yang berbeda dengan kita sekalipun sebangsa dan setanah air. Kelompok-kelompok minoritas masih mendapatkan diskriminasi. Bahkan sekarang muncul gejala, atas nama agama, satu kelompok melakukan diskriminasi atas kelompok lain yang dianggap menyimpang. Padahal tak satupun agama yang memperbolehkan diskriminasi. Dengan idiom agamis, satu kelompok menghancurkan kelompok yang lain. Ironisnya Negara seolah membiarkan semua itu terjadi.


Dalam lingkup yang lebih kecil, primodialisme dan kesukuan masih kuat tertanam di alam bawah sadar kita. Stereo type yang merupakan bentuk lain dari prasangka masih menghinggapi sebagian dari kita. Kita seringkali menilai orang lain bukan sebagai pribadi, tetapi sebagai kelompok atau suku seolah kelompok atau suku terdiri atas orang-orang homogen. Tindakan itu juga sekaligus mengesahkan kesombongan kita untuk menganggap kita sendiri sebagai kelompok yang terbaik dan terpilih. Maka stempel negatif pun diletakkan di atas kepala orang-orang yang berbeda suku tanpa melihat pribadi yang bersangkutan.


Crash adalah potret buram kita semua. Lihatlah adegan bagaimana seorang lelaki keturunan Persia (Iran) yang menembak tukang kunci yang kebertulan orang hispanik setelah tokonya dibobol maling hanya karena prasangka negatif yang menganggap semua orang hispanik adalah maling atau berandalan. Atau bagaiamana kesalnya ia saat orang-orang menyamakannya dengan Orang Arab. Kita Orang Persia, bukan Arab,” protesnya berulang-ulang. Atau adegan saat seorang wanita keturunan Korea berteriak-teriak di rumah sakit memanggil-manggil nama suaminya yang mengalami kecelakaan. Seorang suster dengan entengnya langsung bertanya,” Apakah anda bisa bahasa Inggris?”


Crash seolah mengajak kita berkaca bahwa selama inipun kita juga memperlakukan orang lain tak adil. Ironisnya kini isu kesukuan, primodialisme dan perbedaan agama justru dimanfaatkan oleh politisi atau ormas untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Dan bloonnya banyak orang-orang kita yang tertipu mentah-mentah. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 menjelang kejatuhan Suharto, Poso, Ambon dan Sambas ternyata tak membuat kita belajar tentang artinya menerima perbedaan. Haruskah pembunuhan dan ketidakadilan memberangus persaudaraan kita bersama. Semuanya terserah kita bersama.
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment