Silence Majority

* Kata Gus Dur, rakyat kita itu silence majority. Mayoritas bisu.
Tak heran jika berbagai kalangan berebut menjadi corong suara, representasi, dan penyambung lidah rakyat. Para politisi berebut menjadi wakil rakyat. Ormas dan parpol berebut mengatasnamakan rakyat atau mayoritas masyarakat untuk menjustifikasi sikap dan tindakannya. Kita didukung satu juta orang, begitu sering terdengar. Rakyat setuju atau tak setuju, mereka bilang. Tak jarang beberapa golongan saling pro dan kontra, bertarung, mengumpat dan menyerang pihak lain. Padahal semuanya sama-sama mengatasnamakan suara rakyat yang sama. Yang mana yang benar? Tak tahu. Tapi anehnya, rakyat yang suaranya ditelikung dan disalahgunakan bisa-bisanya diam saja. Tak ada protes. Tak ada suara. Bisu. Yang ada hanya gerundelan dan gerutuan.

* Kata kritikus, orang kita sakit gigi. Tak berani buka mulut. Tak bisa bersuara. Bisu.
Tak heran konon kabarnya dokter gigi di Indonesia paling laris karena orang terus-terusan sakit gigi. Dan tak pernah sembuh-sembuh!

* Kata Presiden kita, rakyat punya kelenturan luar biasa untuk mensiasati kesulitan hidup sehingga tak pernah mengeluh. Tak pernah bersuara. Bisu.
Tak heran pemerintahpun bisa melenggang dengan tenang dengan segala kebijakannya yang kadang kontroversial. Toh mereka bisa beralasan, Lho rakyat nggak protes kok. Yang ribut-ribut kan cuma segelintir orang? Jadi berarti mayoritas setuju kan? Ya kita terus saja! Ini demi kebaikan bangsa dan negara. Ha…ha…ha!

Mengapa bisa begitu? Hegemoni selama puluhan tahun memang telah membungkam mulut anak bangsa ini. Begitu kuatnya opini yang dibangun oleh penguasa sehingga sampai tertanam dalam-dalam di alam bawah sadar kita. zaman kita masih kecil dulu, orang-orang tua suka menasehati anak-anaknya. “Jangan ngomong sembarangan, berbahaya. Subversif. Nanti bisa ditangkap.”
Zaman berubah. Keran kebebasan berbicara telah dibuka lebar-lebar, tapi alam bawah sadar kita tetap tak berubah. Membatu seperti fosil. Orang masih takut berbicara. Bahkan juga bagi orang-orang yang tak mengalami secara langsung era pembungkaman itu. Tetangga saya membuat komentar yang mengherankan waktu melihat para mahasiswa berdemonstrasi. Kok demo melulu, kan lebih baik belajar biar cepat lulus. Lho? Berarti mahasiswa yang berdemo sama dengan mahasiwa jelek. Wah!
Diam adalah emas menjadi peribahasa yang paling diminati, diagungkan dan dipegang erat-erat. Betapa kuatnya hegemoni itu. Penguasa berhasil membuat sebuah nilai kebenaran tunggal, nilai kebenaran yang dibangunnya. Orang lain tak punya nilai kebenaran. Tak ada argumentasi, bisu. Lebih baik bekerja. Jangan mengkritik. Semua orang yang mengkritik adalah musuh negara. Semua demonstran adalah pengkhianat negara. Semua yang berbeda dengan pemerintah adalah setan. Mahasiswa lebih baik jadi anak manis, belajar seperti pelajar dan lulus cepat agar bisa cepat dapat pekerjaan. LSM dan ormas adalah barang haram yang harus dicurigai, diawasi dan diwaspadai. Lebih baik kerja, kerja, dan kerja. Tapi kerja apa?
Kata orang bijak, lebih baik banyak bekerja sedikit bicara. Tapi bicara juga perlu. Untuk mulai bekerja harus ada rencana, setelah itu ada evaluasi dan perencanaan baru lagi. Dan itu butuh bicara. Bicara untuk menuangkan pikiran, mengemukaan pendapat, argumen, opini, usul, kritk dan lain-lain. Bicara. Diam adalah emas, kata sebuah pepatah yang pasti akan ditentang oleh para penyiar radio, penjual obat dan presenter televisi karena mereka dapat duit dengan jual omong. Tapi mana mungkin orang tahu kemauan kita kalau kita diam saja? Semua ada yang mengatur, menurut saja, kata pejabat berwenang. Bagaimana jika aturan itu malah merugikan kita? Jadi bagaimana? Bicara, yang pertama. Kedua, bicara dan seterusnya. Harus ada yang mau berbicara. Negara tak bisa dikendalikan oleh kemauan satu orang karena satu orang tak bisa memahami pikiran semua orang. Yang baik buat sekelompok orang, belum tentu cocok dengan orang lain dan sebaliknya. Yang anugerah untuk satu orang, bisa jadi bencana untuk orang banyak.
Katanya sekarang orang banyak bicara. Komentar sana-sini, tak bertanggung jawab. Nggak apa-apa. Kita toh belum sampai pada tahap keterlaluan. Namanya juga belajar bicara. Memang banyak yang omong ngawur, tapi tak sedikit yang omong jujur. Bongkar pikiran takut berbicara. Rebut kembali kedaulatan rakyat. Jangan biarkan teror menguasai kita. Jangan biarkan laskar bersenjata pentung, ormas, anggota DPR atau OTB membungkam kita lagi dengan teror-teror murahan. Kita harus bicara agar semua orang tahu apa mau kita. Bukan manut di depan dan nggerundel di belakang. Ajang rasan-rasan sambil cari kutu nggak zaman lagi karena kutu rambut juga mulai jadi binatang langka sekarang. Jangan biarkan penguasa kembali menggiring kita ke dalam alam kebungkaman dengan dalih banyak omong jadi kacau. Kalau ngomong ngawur memang ya, tapi kalau dengan tujuan baik pasti nggak kacau. Lebih baik mulai bicara, diskusi, usul, kritik. Jangan hanya DPR yang pinter bicara atas nama orang banyak. Jangan biarkan pihak lain memanipulasi suara kita hanya untuk kepentingannya sendiri! Kalau semua berani bicara, orang tak akan takut lagi berapapun massa yang dikerahkan untuk merekayasa opini. Kami didukung sejuta umat, kata orator lapangan. Jangan takut, kalau semua bicara, kita didukung berjuta-juta umat.
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment