Tiba di Kali Mati
Pepohonan tumbuh semakin jarang dan tanpa beban carrier, kami leluasa berjalan menyusuri jalan setapak berliku. Di atas pohon terpaku papan pengumuman, Kali Mati. Selepas pandangan dari pohon itu, savanna membuka di kejauhan. Pohon-pohon metigi yang lebih kecil tumbuh menyebar. Sebuah pondok kecil dikepung tenda-tenda beraneka warna, tenda para pendaki yang siap menjenguk puncak semeru. Beberapa orang bergerombol atau memasak makanan dengan kompor kecilnya. Sementara di kejauhan, semeru muncul kembali dari kanopi pohon.
Kali Mati
Dingin menyerang. Tapi kami harus mencari air ke Sumber Mani. Berbekal botol kosong, kami menyusuri rekahan tanah ke ujung savanna. Jaraknya hanya satu kilometer dari Kalimati. Rekahan itu kian lebar dan menurun. Pepohonan tumbuh lebat di sini, tanah naik turun tak beraturan tenggelam dalam balutan batang-batang cemara. Jalan setapak itu semakin menurun hingga tibalah di celah menganga. Ketika sampai di permukaan tanah, celah itu meluncur menuju celah yang lebih lebar. Kami berada di dasar sungai…Kali Mati. Sungai kering ini adalah jalur banjir jika semeru memuntahkan endapan yang menutupi kawahnya.
Lembah yang mirip Sumber Mani
Gelap mulai merambat saat kami menyusuri permukaan kali kering yang kian melebar itu. Lebarnya cukup untuk dilalui sebuah bus besar. Di kiri kanan tebing-tebing curam bekas terkikis banjir besar. Batu-batu besar bergeletakan di permukaan tanah. Di kelokan di depan, sumber air mulai terlihat. Sumber itu kecil. Jumlahnya tiga buah yang memancarkan air sebesar pensil. Tapi kesegaran yang diberikan..luar biasa. Tanpa sumber air ini kami akan kehausan dan tak mungkin mendaki puncak tanpa persediaan air.
Magrib mulai menyapa dan kegelapan perlahan menelan lembah itu saat kami kembali dengan botol-botol dipenuhi air. Di balik pepohonan, suara muncak terdengar seperti gonggongan anjing liar. Seperti mengingatkan kami untuk mampir ke lembah itu lagi kelak.
Foto-foto: Yonkie Firmansyah dan Koen Setyawan