Jalur ini cukup menghemat waktu, tapi konsekuensinya memang lebih sulit dari jalur pendakian konvensional. Tanjakannya terasa. Di beberapa bagian kemiringannya nyaris 50-60 derajad. Napas jadi ngos-ngosan kalau tak terbiasa. Tapi pemandangannya….luar biasa. Dari puncak Hayeg-hayeg yang sempit kita bisa menengok ke belakang pemandangan Ranu Pane di kejauhan. Di depan terdapat celah sempit yang dibatasi gundukan kecil. Dari celah itu muncul bayangan Semeru di kejauhan, separuh tertelan kabut. Turun dengan jalur menghujam, tibalah di Sendang Pitu yang luas. Sebelum mencapai dataran luas yang mirip mangkuk raksasa, di kejauhan terlihar Ranu Kembang dengan alur rata yang mengarah ke Watu Rejeng (semacam karang terjal). Sendang pitu dipenuhi tanaman khas dataran tinggi, palem raksasa dan berbagai tumbuhan kerdil. Nun jauh di depan, punggung perbukitan bersemu keabuan di balik tabir kabut yang sesekali turun menelan pepohonan, merubahnya menjadi bayangan kelabu. Pohon-pohon mentigi berpucuk daun merah menyala muncul seperti cakar-cakar raksasa yang dibalut lumur janggut.
Turun lagi melewati jalan babi yang dibatasi ilalang tinggi, mata kita seketika disergap savanna berbukit di kejauhan. Gumuk Mayit. Nama yang menyeramkan. Tapi bagi kami lebih mirip bukit-bukit teletubbies. Bukit-bukit berwarna hijau kuning pucat itu sangat kontras dengan latar belakang hutan yang hijau. Lekuk-lekuknya mengingatkan pada gundukan-gundukan rumah para Hobbit dari lakon Lord of The Ring. Bukit-bukit itu memanjang turun hingga ke celah diantara dua bukit besar. Di balik gundukan berkabut tipis itulah Ranu Gumbolo menunggu diam, yakin para pengunjungnya tak akan menyerah untuk menyapanya, menghirup dingin uap airnya dan menjamah airnya yang sedingin es. Kapan saja.
Foto: Yonkie Firmansyah, Ricky Fetrian dan Koen Setyawan