Jalan menanjak itu masih tetap sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Bedanya, kanan dan kiri jalan kini tak lagi dinaungi oleh tiang-tiang raksasa pepohonan. Pepohonan peneduh itu telah lenyap digarong
Yang tumbuh subur adalah warung-warung yang berderet di sepanjang jalan hingga ke depan gerbang Pemandian Jolotundo. Pemandian itu masih nampak asri. Dilatar belakangi hutan lebat menjulang di atas batu-batu kelabu berukir anggun. Air mengalir dari beberapa lobang batu menyejukkan dan masuk ke dalam kolam yang dipenuhi geliat ikan-ikan besar yang menari-nari.
Terletak di lereng Gunung Penanggungan, Jawa Timur, konon Pemandian Jolotundo memainkan fragmen penting dalam perjuangan Erlangga, menantu Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur yang gugur dalam penyerangan WuraWuri. Hanya Erlangga dan istri-istrinya yang selamat. Sebagai pewaris tahta sekaligus putera Udayana, raja diraja
Sayang kebesaran sang prabu legendaries itu nyaris tak tersisa di Jolotundo. Tak ada informasi yang memadai yang berkisah tentang puing-puing masa lalu ini. Yang ada hanya peringatan, jangan mandi atau memakai sabun. Kalaupun ada, terpampang kurang menarik. Tak ada pemandu yang piawai membawa pengunjung sejenak merasakan kemegahan masa silam. Hanya gemericik air yang berusaha bercerita tentang kala dulu. Batu-batuan candi ditumpuk begitu saja di dekat kaki kolam. Jalan setapaknya nyaris tak terawat. Di depan pendopo yang sengaja dibangun sebagai tempat istirahat pengunjung, tertera tulisan tebal. Bukan tulisan yang menggambarkan kemegahan sang candi, melainkan peringatan, ”awas atap runtuh”. Maklum, atap pendopo memang sudah bolong dan sewaktu-waktu bisa runtuh menimpa orang di bawahnya. Mengenaskan.