Sebuah Indonesia kecil di Sungai Wain

"Ada bekantan!" seru Pitri sambil menunjuk-nunjuk jarinya ke atas pepohonan. Saya berlari mengikuti petunjuknya. Kelebat bayangan berwarna oranye bergerak cepat diantara dedaunan lebat. Butuh beberapa menit sebelum bisa melihat tubuh sang "monyet belanda". Tapi sang empunya wajah tak membiarkanku berlama-lama menatapnya. Diikuti dua ekor monyet lainnya, ia memanjat pepohonan tinggi dan segera lenyap dari pandangan. Tak satupun foto yang berhasil diambil. Namun perjumpaan singkat itu sudah cukup menjadi obat pelipur lara karena tak menemukan monyet langka ini di Muara Mahakam. Apalagi menurut Pitri, yang asli Sungai Wain, sebelumnya tak pernah menjumpai bekantan di hutan di dekat danau buatan Sungai Wain ini. "Biasanya sih mereka sering kelihatan di hutan bakau di Pelabuhan Jaka Tingkir," sambung Pitri. Nggak tahu juga kenapa dinamakan pelabuhan Jaka Tingkir. "Mungkin karena banyak buayanya, ya?" ujar Pitri.

Kami memutuskan meneruskan perburuan sore itu ke Palabuhan Jaka Tingkir. Pitri memanduku melewati tepian Danau buatan yang asri. Di ujung danau, sebuah bangunan besar berdiri lengkap dengan pipa-pipa raksasa yang menyalurkan air ke perumahan dan perkantoran Pertamina. Kabarnya Pertaminan tak memberikan kontribusi apa-apa kepada Pelestarian Sungai Wain. "Cuma nyedot airnya doang," ungkap Pitri.



Dengan meniti pipa-pipa raksasa Pertamina, kami naik ke perkampungan, melewati perkebunan penduduk. Buah pisang dan nangka yang ranum belum sempat dipetik pemiliknya. Beberpa saat kemudian kami menginjakkan tanah berpasir putih di dekat kuburan. Di balik rerimbunan semak, perkampungan mulai menampakkan batang hidungnya. Rumah-rumah panggung terbuat dari kayu berselang-seling dengan kandang-kandang ayam. Suara musik bergema dari dalam kandang. Pengusir kejenuhan dari menjaga ayan, imbuh Pitri sambil tertawa. Penduduk kampung memang peternak ayam. Jumlahnya ratusan. Kebanyakan pendatang dari Bugis. Orang Bugis memang terkenal ulet. Dengan ayam-ayamnya, penduduk kampung menghidupi keluarganya. Para wanitanya menganyam daun nipah untuk atap. Uniknya sebagian besar dijual ke luar Sungai Wain. "Orang sini malah pake seng atau genteng," kata Pitri tergelak.

"Di sini hidup berbagai macam suku bangsa. Ada orang Bugis, Paser (dari Kabupaten Paser), Jawa dan lain-lain. Orang tua saya dari Jawa," cerita Pitri. Obrolan berlanjut saat kami kembali ke penginapan. Duduk di warung kecil di depan penginapan, obrolan semakin seru. Pemilik warung yang keturunan Bugis mengatakan bahwa istrinya dari Jombang, Jawa Timur. Orang-orang datang silih berganti dan mampir sejenak untuk ngobrol. "Itu keponakan saya," kata ibu pemilik warung menunjuk lelaki muda yang berboncengan motor dengan sepupunya. "Yang tadi sepupu saya. Barusan itu juga masih saudara saya," tambahnya. "Di sini semuanya hampir sekerabat. Hampir semuanya nikah dengan orang sini juga. Jadi akhirnya semua jadi saudara," kata Pitri sambil menyeruput kopinya.

Malam semakin larut. Tapi orang-orang yang berlalu lalang masih juga mampir ke warung dan sejenak mengobrol dengan ramah. Bercerita tentang sekolah yang mulai ramai, jalanan rusak, lowongan pekerjaan buat staf Kebun Raya baru, tentara dan polisi yang bertingkah lucu di pos, atau pasar malam yang lagi buka di Kecamatan. Semua orang terbuka, ngobrol dengan bebas, menyapa saya dengan ramah seolah-olah saya bukan orang baru di tempat ini. Tak ada perbedaan. Tak ada yang mempersoalkan apakah saya orang Jawa, Sunda, Aceh atau Batak. Dalam hati saya berpikir, seharusnya seperti inilah Indonesia: terbuka, menerima perbedaan, hidup berdampingan. "Ah, mereka bisa begitu karena nggak ada yang mayoritas," komentar kakak ipar saya. Mungkin benar juga. Tapi itu tak melunturkan kekaguman saya pada orang-orang Sungai Wain yang ramah itu. Inilah miniatur Indonesia yang kita impikan. Jauh di kesenyapan di tepian Hutan Sungai Wain, Kalimantan Timur, ke-Indonesia-an kita sedang dirajut. Di sana, dan bukan di Jawa yang terlanjur dianggap lebih maju dan beradab...
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment